KATASTROFA (CHAPTER 14)

55 10 27
                                    

Pagi itu, beberapa kali ketukan di pintu membuat mata Jeno terbuka cepat. Bola netranya langsung bergerak cepat melihat ke sekeliling. Entah karena tirai di jendela yang belum di buka atau hari ini memang mendung meskipun jarum jam sudah bergerak ke angka sembilan, suasana di kamar begitu suram. Sekali lagi pintu di ketuk, membuat tubuh atletisnya langsung terangkat dan duduk tegak. Dia menurunkan kedua kaki perlahan dan berjalan terseok sambil menjulurkan tangan membuka handle pintu..

Di hadapannya berdiri Hyunsik yang tersenyum kaku sambil mengangguk sopan.

"Ini surat kelulusan tuan Jeno beserta ijazah dan berkas lain." Hyunsik menyerahkan sebuah map tebal pada Jeno.

"Terima kasih."Jeno menerimanya dengan enggan.

Dia melirik beberapa orang di belakang Hyunsik yang berdiri sambil mengobrol berbisik-bisik.

"Apa ... hari ini aku boleh pergi keluar?"tanya Jeno ragu.

Lagi-lagi pria berekspresi tegas di hadapannya tersenyum.

"Maaf Tuan, sampai keberangkatan anda ke Jepang untuk kuliah, saya rasa Tuan Na belum bisa memberi ijin."

Ini sebenarnya usaha kesekian kali yang sia-sia. Padahal Jeno hanya ingin mengetahui kabar tentang sesuatu.

"Sarapan sudah siap. Setelah itu, anda ditunggu oleh Tuan Na di ruang kerja."

Hyunsik mengangguk sebelum pamit. Memberi peringatan pada anak buahnya agar tetap diam di dalam rumah untuk mengawasi Jeno. Sambil mengacak rambut, Jeno melempar dengan asal map itu ke atas tempat tidur. Bukannya mandi, dia sekarang malah kembali duduk di tepian kasurnya yang berantakan dan menatap ke arah jendela tanpa pemandangan. Dia tidak berminat membukanya barang sedikit, seolah menutup diri dari dunia. Tidak perlu menikmati sinar mentari pagi ataupun segarnya udara tanpa polusi. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal. Sebuah penyesalan. Tapi tidak ada yang mampu menahan alur hidup Jeno kecuali tetap melaju dan mengarah pada apa yang sudah menjadi tujuan. Mesikpun itu artinya dia hidup dengan rasa dendam yang harus terbalas tanpa dia tahu apakah orang itu memang pantas menerimanya atau tidak. Ada obsesi dan kata hati yang berlainan dalam dirinya. Dilematis luar biasa sebelum dia melawan salah satu demi menghidupkan yang satunya lagi.

Selesai mandi setengah jam kemudian, dia memaksakan diri sarapan. Tidak tega melihat asisten rumah tangga yang berkutat di dapur sedari subuh demi memasakkan makanan layak untuknya. Makanan yang sama sekali tidak pernah dia kecap karena kehidupannya yang terlampau sulit dan ibunya yang tidak pernah mau peduli. Dia sendiri takjub, kalau dia masih bisa hidup sampai dewasa padahal mungkin dia tidak pernah disuapi dengan pantas oleh sang ibu sedari kecil.

Dengan langkah pelan, Jeno masuk ke rumah utama. Merasakan kemegahan yang dibalut hening untuk kesekian kali setiap kali dia datang ke sana. Seolah patung yang berdiri di beberapa sudut ruangan pun merasa bosan dan jenuh menjadi penghuninya. Ada kesepian yang abadi di rumah ini. entah mengapa bangunannya didirikan sangat besar namun tidak pernah ada pribadi-pribadi hangat yang biasa kita sebut sebagai keluarga. Lantas apa bedanya dengan rumah Jeno dulu, yang dihuni bersama seorang ibu yang acuh. Bedanya mungkin hanya suara ramai mereka setiap hari karena ada saja yang mereka perdebatkan.

Ayunan kaki Jeno berhenti di depan pintu ruang kerja yang terbuka setengah. Kelihatannya Tuan Na masih menerima tamu. Obrolan mereka bukan sesuatu yang seru yang biasa dibahas dengan balutan gelak tawa seperti bersama teman-teman bisnis. Tapi dari sini, Jeno bisa mendengar semua percakapan bernada serius.

"Sebagian lagi sudah dibereskan?"

Jeno mendengar suara berat Tuan Na.

"Sudah Tuan."

"Lantas dimana pemuda itu?"

"Saya akan bereskan sisanya."

"Cepat lakukan sebelum siapa pun lebih dahulu menemukan dia. Kamu tidak menghabisinya kan?"

LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum