KATASTROFA (CHAPTER 7)

38 8 25
                                    

Ruangan itu bukan sebuah tempat asing bagi remaja 17 tahun yang penampilannya urakan. Dengan rambut acak-acakan, wajah terdapat lebam di sekitar mata dan rahang,  serta baju seragam semrawut dan bagian atasnya terkena percikan darah dari hidung, dia kembali duduk di sofa yang sama untuk kesekian kali. 

"Saya sudah kehabisan cara untuk menghadapi kamu, kenapa kamu sering membuat masalah seperti ini?" seorang pria paruh baya menatap anak itu sambil geleng-geleng kepala. 

"Bukan saya yang mulai duluan, Pak,"sahutnya enteng.

Dia menyedot cairan yang semula dikira ingus padahal darah segar. Disekanya hidung mancung itu dengan lengan seragam hingga menambah bercak kemerahan lain. Pria di hadapannya menarik napas banyak-banyak. 

"Kamu hampir membunuh Riu. Coba berubah sedikit saja. Ini tahun terakhirmu di sekolah, sampai kapan kamu akan berbuat onar seperti ini terus?"

"Sampai papa saya datang sendiri kemari dan menyelesaikan masalah saya menghadap Bapak."

"Lee Juyeon, kamu tahu itu tidak mungkin."

"Kenapa tidak? Dia kan orangtua saya. Orangtua wajib mengurusi masalah anaknya."

"Kau jelas tidak paham dia sesibuk apa."

Anak yang dipanggil Juyeon itu mendengus sebal.

"Kamu saya skors selama tiga hari."

"Kenapa enggak dikeluarin aja sekalian sih, Pak?"

Pria itu menggeleng. "Percuma, sudah tidak ada sekolah yang mau menampung kamu dan saya memutuskan mengambil resiko dengan mempertahankan kamu disini."

Juyeon ingin sekali meludah. Dia tahu bukan itu alasan kepala sekolah tetap memberinya ruang aman. Tapi karena ayahnya menyumpal pantat laki-laki gempal itu di atas tempat duduknya dengan uang sehingga bagi dia tentu tidak jadi masalah kalau Juyeon berbuat urakan.
 
"Pak, saya mau menjemput Tuan muda."

Seorang pria yang dipersilahkan masuk meminta ijin dengan sikap kaku dan sopan.

"Silahkan, " kepala sekolah menunjuk Juyeon yang sudah lebih dulu berdiri.

"Gue bisa pulang sendiri."

"Bapak mau bertemu, Tuan."kata pria itu sambil setengah membungkuk mempersilahkannya berjalan di depan. 

Juyeon sebenarnya enggan. Dia sudah malas mendengar ceramah ayahnya yang sama sekali tidak berguna itu. Hanya menuntutnya menjadi anak baik, membandingkan dia dengan anak-anak temannya, bahkan dengan seorang anak yang baru-baru ini dia angkat sebagai anak buahnya yang bernama Lee Jeno, hanya karena dia pintar dan cerdas. Juyeon sudah muak menghadapi situasi seperti ini. Ayahnya seolah tidak bisa menerima keadaan Juyeon dengan segala tingkah lakunya yang dia tidak lain ditujukan untuk meminta sedikit perhatian.

"Dimana papa?" tanya Juyeon saat dia tidak dibawa masuk ke ruang kerja ayahnya melainkan ke sebuah ruangan lain di belakang rumah. Juyeon tidak begitu mengenal setiap ruang di rumah ini karena sejak masuk sekolah dasar, dia sudah dipindahkan ke rumah lain dan hanya tinggal bersama ibunya padahal masih berada dalam satu kota. Pada saat itu dia tidak mengerti mengapa dia dan ibunya seolah diasingkan. Seperti layaknya seoran selir beserta anak haram yang dipaksa untuk tetap bersembunyi dalam istana yang lebih kecil.

"Sebelah sini,  Tuan."

Mereka masuk ke sebuah ruangan yang luas tapi isinya hanya sebuah kolam renang berukuran sedang dan satu buah kursi. Juyeon menghentikan langkah saat melihat hamparan air yang begitu penuh tapi tenang. Dia merasakan tubuhnya mulai gemetar tidak karuan hingga kedua tangan Juyeon terkepal menahan marah.

LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz