KATASTROFA (CHAPTER 26)

37 9 22
                                    


"Jam berapa kita kembali ke Seoul?"tanya Jeno sambil mengancingkan kemeja lengan pendek itu yang -membuatku terpaksa melesat sebentar ke sebuah mall untuk membelikannya baju baru.

Setelah menyeruput kopi panas, dia lalu merangkapnya dengan hoodie.

"Keberangkatan jam sembilan malam," aku mengerjapkan mata ketika penampilan Jeno terlihat seperti dulu saat kami duduk di bangku sekolah.

"Berarti masih ada waktu, "dia melirik arlojinya.

"Mau kemana?"tanyaku.

"Udah beres kan, makannya? Kita turun ke bawah sekarang."

"Hah?"

Aku merogoh notebookku hendak melihat apakah ada jadwal kegiatan yang lupa kuingat, tapi tangan Jeno segera merebut benda itu.

"Ini bukan kerjaan, gue mau ngajak lo ke sebuah tempat."

Masih dengan tatapan melongo heran aku ditariknya bergegas keluar kamar. Di depan lobi hotel, sebuah mobil lengkap dengan supirnya sudah menunggu. Aku masih memilih diam, mengikuti Jeno duduk di kursi belakang.

"Jauh tidak Pak, tempatnya?"tanya Jeno pada si supir berbadan gempal itu.

"Wah, ya lumayan jauh Pak. Terus untuk bisa sampai ke rumahnya, mobil tidak bisa masuk, harus pakai motor."

"Ya sudah nanti dibantu saja ya, seperti yang kita bicarakan kemarin."

Kupandangi mereka dengan bingung tapi Jeno terlihat tidak ingin menjelaskan apapun padaku. Akhirnya aku hanya menatapi suasana kota Busan lewat jendela mobil. Ini jelas sebuah pemandangan yang lain dari apa yang biasa kulihat di layar kaca. Tidak ada jalanan yang padat seperti di Seoul. Mobil melaju dengan kecepatan sedang menelusuri jalanan yang lengang menuju pinggirian kota. Kebanyakan kendaraan besar saling silang bergantian setiap lima menit, entah datang dari mana. Aku melihat tebing dan lembah di sekeliling lalu merasa mual karena rute berkelok-kelok.

Kalau ini bukan perjalanan kantor, lantas apa?

Otakku berputar, mengarang-ngarang halusinasi indah sendirian. Mungkin dia sedang membawaku ke sebuah tempat menakjubkan lalu mengucapkan kalimat-kalimat meluluhkan lagi seperti tadi pagi? Mataku terpejam sejenak dan aku sibuk merutuki diri dalam hati. Sialan. Sialan. Bagaimana diriku bisa senista ini menanggapi semua sikap Jeno padaku?

"Kita turun di sini," si supir menghentikan mobil di sebuah ujung jalan kecil. "Sebentar saya panggil adik saya dulu ya,"katanya dengan dialek yang kental.

"Jen, ini dimana?"tanyaku sambil melihat sekeliling.

"Gue males jelasin sekarang, ayo turun aja dulu."

Dia mendorong tubuhku agar keluar dari pintu sebelah kiri. Si pak supir kembali mengendarai sebuah sepeda motor. Dia lalu turun setelah mematikan mesinnya.

"Silahkan Pak, pokoknya dari sini lurus saja. Nanti bapak lihat kawasan pabrik teh, belok kiri. Tidak jauh dari situ rumahnya, paling besar. Kalau saya tidak salah warna putih semua catnya."

Jeno mengangguk. Dia segera menaiki sepeda motor sementara aku masih bengong menatapi keadaan.

"Woong, ayo cepetan! Kita nggak punya banyak waktu,"kata Jeno sambil mengisyaratkan agar aku segera naik di belakangnya.

Aku menoleh pada si supir dan dia hanya tersenyum simpul lalu mengangguk sopan. Dengan canggung aku ikut menaiki motor dan membiarkan Jeno membawaku masuk ke dalam jalanan yang lebih kecil juga sepi. Di kiri kanannya yang terlihat hanya hamparan perkebunan teh.

"Jen,"panggilku.

"Hmm."

"Jangan ngebut-ngebut," pintaku. Wajahku terasa beku terkena angin dan terpaan hawa dingin.

LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️حيث تعيش القصص. اكتشف الآن