34. | Another baby?

Start from the beginning
                                    

"Ravel's different," ucap Kagendra dan memperhatikan jam tangan. "Papa hitung sampai sepuluh, ya?

Lyre juga sadar anaknya berbeda, demikian halnya dengan cara Kagendra berusaha membujuk. Suaminya bisa saja langsung menggendong Ravel beranjak, memandikannya tetapi nyatanya Kagendra tetap berusaha mendapatkan kerja sama sang anak.

"Kharavela-nya Papa ... udah sepuluh hitungan, ya."

Ravel geleng kepala. "Sepuluh lagi."

Lyre mendadak punya ide, mengingat telepon yang diterimanya pagi ini. "Wah, padahal Ravel hari ini belajarnya pakai laptop Papa ... terus bisa facetime sama teman-teman."

Ravel seketika mengerjapkan mata dan menoleh sang ibu. "Teman-teman?"

"Iya, mereka ada playdate weekend, terus mau telepon video dan—"

"Mau! Ayo, Papa ... Vel mau mandi." Ravel langsung menarik tangannya dari kepala iguana. "Nanti lagi ya, Raphael."

Kagendra memperhatikan anaknya antusias beranjak dan menoleh Lyre, sejenak mendekat untuk berbisik, "Kamu enggak bohong 'kan soal rencana facetime itu? Ravel paling drama kalau dibohongin, bisa ngambek seharian."

"Aku enggak bohong. Ponselmu bunyi pas aku selesai mandi, Mama Kinar telepon katanya ketua wali siswa yang inisiatif. Ravel ditanyain terus soalnya."

"Papaaaa ..." panggil Ravel yang mulai menaiki tangga.

"I'm coming ..." kata Kagendra lalu memperhatikan situasi di ruang tengah. Hanya ada istrinya dan tamu yang tidak diharapkan, ayah mertuanya entah kenapa begitu lama di dalam kamar. "Re, jangan macem-macem ya."

"Hah?" tanya Lyre sebelum tiba-tiba wajahnya dipegangi dan pipinya dicium sebanyak dua kali.

"I put my trust in you," kata Kagendra dan beranjak menyusul Ravel.

Lyre geleng kepala, suaminya bertingkah konyol. Ia bukan jenis perempuan yang gampang digoda atau mau berpaling pada lelaki lain. Terutama, terhadap sosok yang sudah ditolaknya sejak awal.

"Untuk ukuran perempuan yang terindikasi melupakan suaminya, kamu terlihat tenang, Re ..." ungkap Raksa.

"Pikiranku melupakannya, tetapi tubuhku familiar dengannya," balas Lyre santai dan tersenyum. "Dan dibanding bersikap tenang, aku sebenarnya hanya mengikuti naluri juga."

"Kamu menolak pendampingan psikolog, Sonya sangat kompeten dan—"

"Aku sudah berkonsultasi dengan dokterku, Mbak Tian memastikan kondisiku cukup stabil dan memang enggak perlu terburu-buru mengingat." Lyre menyipitkan mata karena raut wajah Raksa yang datar. "Kita enggak mungkin ada sesuatu, bukan?"

"No, of course not. Kita hanya dua kali ketemu saat di Jakarta ... kamu enggak pernah berubah, masih terus menghindar."

"I know I have to." Lyre mengangguk yakin dan memperhatikan sang ayah keluar membawa sebendel berkas, memberikannya pada Raksa.

"Detailnya nanti kita bicarakan saat rapat nanti," ucap Lukito dan menoleh putrinya. "Pemulihan Lyre berjalan dengan baik sejauh ini."

"Ya, Atiana beberapa kali mengungkap kekaguman ... dokter yang mengoperasi Lyre pertama kali juga hebat, control bleedingnya sangat rapi."

REPEATEDWhere stories live. Discover now