23. | Unconditionally

39.9K 4.8K 1K
                                    

Lho, lho hari apa ini?
Hari yang menyenangkan, ea~

aku gabut karena kerja setengah hari, tadinya pusing tapi dipakai ngetik cerita ini mendadak enteng ... sepertinya menuliskan kekampretan Kagendra efektif menyalurkan stressku.

.

3.249 kata untuk bab ini

wish you like it
happy reading
and
just be kind

.

thank you

🌟

23. | Unconditionally

"Syukurlah ..."
Desire berujar dengan lega ketika Atiana tampak semringah keluar dari ruang rawat Lyre, diikuti Kagendra.

Atiana mengangguk, mengatakan satu konfirmasi, "Hari ini benar-benar kemajuan yang baik, sementara biarkan Lyre dan Ravel bersama ... nanti setelah makan siang, saya akan observasi lanjutan."

"Terima kasih, Dok," ujar Desire dan mengantar Atiana sampai ke pintu.

"Oh iya, Pak Kagendra ... untuk proses treatment Lyre akan diperlukan banyak memorabilia, bisa foto-video-dokumen resmi. Semakin banyak yang bisa ditunjukkan pada Lyre, semakin valid untuk memastikan input ingatannya sesuai."

Desire melirik kakak sepupunya yang hanya mengangguk singkat.

"Harus disiapkan mulai kapan, Dok?" tanya Desire yang segera menahan pintu.

"Mulai sekarang, supaya ketika dibutuhkan bisa langsung digunakan." Atiana memberi anggukan kecil. "Saya akan kembali lagi nanti."

Desire balas mengangguk, menutup pintu dan menghadapi Kagendra. "Aku akan minta Mbak Yeyen untuk packing album fotonya Ravel di rumah, biar Waffa yang bawa ke sini untuk—"

"Lyre akan melanjutkan perawatan di Jakarta," sela Kagendra dan sebelum adiknya memprotes segera bersedekap kaku. "Ngomong-omong, kamu kasih Ravel coklat?"

Sial! Batin Desire dan segera menjelaskan, "Kecil aja, beneran." Ia menunjukkan ukuran setengah dari dua jarinya. "Segini doang, anggap reward jadi anak baik."

"Waktu sama Waffa, Ravel udah dikasih coklat juga ... reward karena enggak nangis. Ck! Kalian nih, rewardnya berpotensi bikin anakku sakit gigi."

Desire tergelak pelan. "Tapi Lyre bisa langsung sadar gitu. Syukurlah kalau naluri keibuannya enggak ilang."

"Kamu ketemu Lyre-nya besok aja, aku harus atur beberapa hal dulu."

"Atur beberapa hal apa?" tanya Desire dengan penasaran.

"Jangan banyak tanya dan jangan dulu kirim barang-barang dari Jakarta. Kamu ikutin semua arahan dariku."

"Ya! Tapi harus jelas juga apa maksud—" Desire terkesiap karena getaran ponselnya, teringat pesan sang ibu saat telepon tadi pagi. "Ah, Mama nih ... mau ngomong sama kamu soal Lyre."

Kagendra beralih duduk, menunggu Desire mengatur posisi ponsel dan menerima panggilan video tersebut.

Wajah Kinar Pradipandya terlihat sendu dan bercucuran air mata. "Kaka ... gimana? Astaga, amnesia sebagian katanya? Oh, Tuhan ..."

REPEATEDOnde histórias criam vida. Descubra agora