14. | Keluarga Kanantya

38.7K 4.7K 1K
                                    

Tenang, ini bukan salah pencet
bukan juga halusinasi karena overthinking sama nasibnya tokoh fiksi di sini

Besok aku ada acara
jadi update Rabu maju ke hari Selasa bahagia, eaa~

.

2.971 kata
bacanya pelan-pelan aja

🌟

14. | Keluarga Kanantya

"Mamaaaa..." jerit Ravel.

"Ndra! I'll come to you, okay ... Desire too." Suara Waffa terdengar meyakinkan. "Just hold on, Man ... we will come to you."

Kagendra menyebutkan nama rumah sakitnya, mengakhiri panggilan dan menggendong Ravel kembali, membawanya berjalan mondar-mandir di ruang tunggu operasi.

"Mamaaaa..."

"Iya, tunggu Mama di sini."

Lengan Kagendra mulai nyeri, karena sebelum hanya menangis seperti sekarang. Ravel sempat tantrum, menendang, menggeliat, memukul-mukul, dan semakin memberontak tatkala menyadari ibunya dibawa memasuki ruangan yang tidak mengizinkannya ikut.

Beberapa pengunjung atau sesama penunggu sempat berusaha membantu, namun itu tidak mengurangi intensitas raungan kesedihan. Bahkan dokter anak yang sempat mampir untuk memeriksa sekaligus memastikan keadaan Ravel, tetap tidak bisa berbuat banyak.

"Mammaaaa..."

"Iya, tunggu Mama di sini."

Kagendra mengelus punggung anaknya, mengatur napasnya sendiri, mencoba menghirup sisa aroma Lyre yang tertinggal di selimut dan rambut Ravel. Kagendra tidak ingat berapa kali dia terus berjalan mondar-mandir, namun perlahan menyadari tangis anaknya berhenti. Ia berusaha lebih tenang lagi, membetulkan gendongan dan duduk untuk menyamankan.

"Keluarga pasien Sagitta Ly—"

"Saya," sahut Kagendra cepat.

Perawat segera mendekat, memberi tahu terkait status operasi yang dinyatakan telah selesai. "Kondisi pasien masih akan dipantau selama empat puluh delapan jam di ICU dan selama rentang waktu tersebut dibutuhkan transfusi darah, perkiraan empat sampai enam kantong lagi. Informasi dari PMI, sore ini masuk dua kantong, sehingga Bapak harus mencari dua sampai empat yang tersisa."

Kagendra mengangguk. "Boleh saya lihat istri..." kalimatnya tidak terselesaikan karena mendapati brankar pasien keluar dari ruang operasi. Lyre terbaring di atasnya, sangat pucat, dengan beberapa kabel dan slang tersambung untuk menyokong hidupnya. Perban yang cukup tebal membalut kepala Lyre.

"Belum boleh dijenguk hingga empat puluh delapan jam ke depan. Namun bisa dilihat melalui dinding kaca di ruang tunggu ICU," ujar perawat lalu undur diri.

Seorang dokter wanita dengan pakaian khusus di ruang operasi ganti mendekat, dia mengulurkan sebuah plastik berisi cincin kawin, gelang, dan sepasang giwang berlian yang selama ini selalu Lyre kenakan.

"Maaf ya, Pak, karena situasi darurat jadi belum berkenalan secara langsung. Saya dr. Erin Marsellia."

Kagendra menerima plastik berisi perhiasan tersebut, memasukkan ke saku jaket Ravel dan memberi tahu, "Kagendra, suami Lyre."

"Ibu Lyre berjuang dengan sangat baik di ruang operasi, saya optimis dengan kesadarannya, karena itu saya harap Bapak juga tetap berpegang pada doa-doa terbaik," ujar dokter tersebut lantas mengusap lembut kepala Ravel. "Suster sudah menjelaskan situasi Ibu Lyre, terkait perawatan lanjutan dan kebutuhan trans—"

REPEATEDWhere stories live. Discover now