31. | Indikasi, manipulasi

Start from the beginning
                                    

"Oh, oh, iya ... jangan, dr. Tian tadi bilang kamilah yang harus lebih bersabar dan pengertian terkait keadaan kamu sekarang," kata Kinar dan mendekati Lyre. "Kaka mungkin udah kasih tahu ya, tapi agar lebih meyakinkan, Mama adalah ibu untuk Lyre di keluarga Pradipandya."

Lyre mengangguk, mengulurkan tangan kanannya, menyalami Kinar dan mencium lembut ke punggung tangan. "Maaf ya, Ma ... kalau kedepannya Mama jadi harus banyak bersabar atas hal-hal yang Lyre lupakan."

Kinar geleng kepala, mengalihkan tangannya yang baru dilepas untuk mengusap pelan ke wajah Lyre. "Enggak ... Mama bersyukur sekali kamu selamat, terus bertahan dan kembali bersama kami. Terima kasih, Re ... terima kasih banyak karena tetap hidup."

"Mama ... mulai deh," sebut Desire ketika sang ibu langsung terisak-isak. Ia segera beranjak, merangkul ibunya kembali duduk. "Sorry ya, Re ... bakatku drama emang turunan Mama sebenarnya."

"Dede!" protes Kinar sembari mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka air mata.

Lyre ingin tersenyum namun benaknya lebih dulu dihinggapi keharuan. Ia teringat cerita Kagendra tentang kehilangan yang dialami keluarga Desire dan jelas itu memang masih menyisakan kesedihan, sehingga ucapan Kinar tadi terasa benar-benar tulus dalam mensyukuri kondisinya.

Kagendra memperhatikan ke pintu keluar dan bertanya, "Pada ke mana sih?"

"Papimu harus dicek dokter, Waffa yang antar terus Ravel ikut ... senang dia dipangku Opa naik kursi roda," kata Kinar sambil tersenyum.

"Papi emang kenapa?" tanya Lyre.

"Pemulihan pasca stroke, sempat lama juga komanya." Kinar kembali terkenang. "Sore hari setelah Papi tersadar, Mama baru dapat kabar kecelakaanmu, Re ... berita baik dan berita buruk terjadi di hari yang sama."

"Ma, nanti nangis lagi, ceritanya yang happy-happy aja," ungkap Desire lalu memperhatikan Lyre yang mulai mengulas senyum. "Re, coba deh tanya apa aja soal Kaka ... aku bakal jawab jujur."

"Ngapain harus nanya kamu, bisa nanya aku sendiri," sebut Kagendra, khawatir jika adik sepupunya iseng.

"Beda dong! Ayo, Re, jangan malu-malu," sebut Desire dengan nada riang.

Lyre terkekeh. "Uhm, one thing actually ..."

"Lyre, kamu bisa nanya ak—"

"Apa benar kalau aku posesif? Suka cemburu, terus galak sama Mas Ndra?" tanya Lyre tanpa ragu.

Kagendra langsung menatap Desire tajam, memastikan adiknya balas memandang sembari dirinya menyampaikan kode-kode untuk meyakinkan Lyre.

Desire tertawa pelan. "Nope! Justru sebaliknya."

"Dede!" protes Kagendra dengan sebal. "Kamu jangan iseng, ya?"

"Dih, siapa iseng? Orang emang kamu yang suka kesetanan kalau ada cowok nekat deketin Lyre ... kamu bahkan pernah ya, nyuruh Waffa ke Bali buat booking tattoo artist karena Lyre sekali doang keluar rumah enggak pakai cincin kawin. Kamu minta tattoo tulisan 'Kagendra' di jari manisnya Lyre."

"What?" sebut Lyre dan langsung menatap suaminya lekat.

Kagendra geleng kepala. "Mengada-ada, buktinya enggak ada tattoo begitu dan aku enggak—"

"Enggak ada karena dilarang sama Om Tio."

Kinar tertawa pelan memperhatikan Kagendra bersungut-sungut. "Kamu itu kenapa panik? Orang memang kamu yang selalu banyak aturan buat Lyre ... bahkan pernah nih ya, Re ... kita biasa setiap ada event perusahaan, barengan bikin dress dan seragam gitu nuansa busananya, kalau Mama pilihin kamu yang agak berani sedikit, ngambek lho Kaka ini."

REPEATEDWhere stories live. Discover now