27 ❇ Bumi Matahari

17 8 0
                                    

Seperti matahari yang mencintai bumi dengan jaraknya. Ia tidak akan pernah mendekat, kecuali kelak di penghujung waktu saat Tuhan menginzinkan keduanya untuk bertemu.

❇❇❇

Aku beranjak dari tempat kerja setelah pukul 21 tiba. Jam kerjaku telah usai, aku bergegas untuk pulang.

Sembari berjalan menuju parkiran, mataku tak lepas memandangi langit yang begitu indah malam ini. Suasana malam kali ini cukup terang. Rembulan memancarkan sinarnya dengan begitu indah di hamparan langit sana. Kemerlip bintang menambah pelengkap keindahan suasana langit malam ini.

Langkahku terhenti ketika telah tiba di parkiran. Kuambil motor di sana untuk segera pulang. Namun, dari kejauhan sebuah motor nampak mendekat dan memasuki area parkir caffe ini. Aku heran, apakah dia tidak melihat jika caffe ini sudah tutup.

Aku yang semula ingin cepat pergi akhirnya tertahan dan malah sibuk memperhatikan pengendara itu. Dia menghentikan motornya kemudian turun dan membuka sweeter merah jambu yang melekat di badannya, hingga nampak lah seragam serba putih khas petugas medis yang perempuan itu kenakan.

"Rani?" Aku memekik pelan. Tidak salah lagi itu adalah dia. Sekalipun wajahnya masih tertutup helm dan masker, tapi aku sudah begitu mengenali hanya lewat seragam dan posturnya. Sepertinya dia baru saja pulang dari tempat kerjanya.

Entah ada apa malam-malam seperti ini dia datang ke sini. Itulah pertanyaan yang berkelindan di kepalaku saat ini. Tanpa berlama-lama, aku menghampirinya.

"Permisi, Nona, ada yang bisa saya bantu?" sapaku dengan candaan yang ternyata berhasil membuat dia terkejut. Dia berbalik badan sembari terjingkat kaget. Aku terkekeh melihat ekspresinya.

"Ish, ngagetin aja. Kukira siapa," sahutnya dengan tatapan penuh sebal.

"Lagian kamu ngapain malem-malem ke sini. Lihat itu, caffenya sudah tutup," tunjukku pada bangunan yang kini telah terkunci rapat.

"Memangnya siapa yang mau ke caffe? Aku ke sini bukan untuk itu."

"Lalu?"

"Aku ada sedikit perlu sama kamu. Bisa kita bicara sebentar?" pintanya.

"Boleh. Mau bicara di mana? Bagaimana kalo di sana?" ajakku ke arah warung angkringan seberang jalan yang masih nampak ramai.

Tapi Rani menggeleng. "Di sini aja, cuma sebentar kok."

"Di sini sepi, Ran. Lagian aku tau kamu juga pasti capek abis pulang kerja, setidaknya di warung aja sambil kamu minum dan istirahat," bujukku.

"Enggak, di sini aja. Aku cuma pengen bicara satu hal kok, gak banyak."

"Hm, yasudah, silahkan." Aku mengalah.

"Jadi begini, Dil, mengenai ucapanku kemarin malam, aku butuh jawaban kamu."

"Jawaban seperti apa?"

"Jawaban tentang perasaan kamu sebenarnya sama aku sejak dulu."

Aku terdiam. Nafasku menghembus sedikit kasar.

"Bukannya kemarin kamu sendiri yang mengatakan bahwa kamu tidak akan menanyakan hal itu?"

"Iya, memang aku mengatakan seperti itu sebelumnya. Tapi setelah dipikir lagi sepertinya aku juga perlu tau tentang perasaan kamu selama ini sama aku. Kamu hanya perlu menjawab jujur. Jika pun selama ini kamu tidak memiliki perasaan apapun dan murni hanya menganggapku sebagai teman, katakan saja. Aku akan berlapang dada dan tidak akan merasa sakit hati. Setidaknya aku akhirnya tahu dan tidak akan berharap apa-apa lagi karena semuanya sudah cukup jelas."

Journey Of My LifeWhere stories live. Discover now