04 ❇ Dilema

115 75 19
                                    

Kedilemaan ada agar kita tidak lupa bahwa sebaik-baiknya pemberi petunjuk adalah Allah Azza Wa Jalla. Jadi, jangan ragu untuk berdo'a.

❇❇❇

Di ujung timur matahari nampak masih malu-malu menunjukkan sinar kuningnya, hingga menjadikan suasana alam nampak remang-remang. Kutarik nafas dalam-dalam untuk menghirup udara pagi yang sangat segar. Suasana asri dan tenang ini sangat jarang sekali kunikmati saat ada di Jakarta.

Kududukan tubuhku di kursi kayu seraya memanjakan mata melihat hamparan sawah yang tersaji di depan mata. Memandangi keindahan alam seperti ini membuatku teringat akan keagungan Allah yang selalu berhasil membuat hatiku menjadi jauh lebih tenang.

Sudah hampir seminggu aku berada di desa setelah kepergian ayah. Keputusanku untuk berhenti kuliah sudah sangat yakin, bahkan hari ini aku sudah berencana kembali ke Jakarta untuk mengambil barang-barangku di kost sekaligus melakukan konfirmasi kepada pihak kampus perihal keputusanku untuk keluar dari kampus.

Aku berencana meneruskan bengkel ayah melalui keahlian otomotif yang sudah lumayan kukuasai. Aku ingin benar-benar fokus mencari uang untuk membantu meringankan beban ekonomi ibuku yang ia tanggung sendirian.

"Kamu kapan ke Jakarta lagi? Udah seminggu lebih kamu di sini. Memangnya kamu gak ada jadwal kuliah di sana?" tanya ibuku sembari ia menjemur pakaian.

Aku memang belum menceritakan kepada ibu perihal keputusanku yang ingin berhenti kuliah.

"Rencananya sih hari ini aku mau ke sana, Bu. Sekalian mau ambil barang-barang," kataku pelan.

Dahi ibuku seketika mengkerut. Sepertinya ia masih belum paham maksud ucapanku. "Sekalian ambil barang-barang? Memangnya barang-barang siapa yang mau diambil?"

"Barang-barang aku di kost, Bu. Rencananya aku mau berhenti kuliah, aku mau cari kerja di sini saja sambil nerusin bengkel ayah," jawabku lantang penuh percaya diri.

Mata ibuku langsung terbelalak. Raut wajahnya berubah seketika, aura kemarahan tergambar jelas di sana. Aku terkejut, kenapa ibu jadi terlihat semarah itu.

Seperdetik kemudian ibu langsung mendekat ke arahku.

"Siapa yang menyuruhmu berhenti kuliah? Siapa yang menyuruhmu mengambil keputusan seperti ini?" katanya dengan nada tinggi dan mata yang menatap tajam kepadaku.

Aku tertunduk, aku tidak menyangka jika ibu akan semarah ini.

"Untuk apa kamu berhenti kuliah? Untuk bekerja demi ibu dan adik-adik? Demi apapun ibu tidak ridho jika alasan itu yang membuatmu putus pendidikan," tegasnya.

"Tapi, Bu, aku ini anak laki-laki Ibu satu-satunya, rasanya aku durhaka sekali jika membiarkan Ibu banting tulang untuk mencari uang sendirian setelah ayah tidak ada. Sungguh, aku ingin sekali membantu Ibu," lirihku mencoba memberi pemahaman kepadanya.

Ibu menghela nafas dengan berat, kulihat raut wajahnya sudah tidak lagi menunjukkan kemarahan, yang kulihat di sana justru tatapan mata yang berubah menyendu.

"Fadil, dengarkan ibu. Kamu tidak perlu memikirkan itu. Ibu masih sanggup menghidupi keluarga ini dan membiayai pendidikan kedua adikmu. Ibu masih muda, insyaAllah tenaga ibu masih kuat untuk berjuang mencari rezeki. Kamu tidak usah khawatir, ibu akan baik-baik saja."

Journey Of My LifeWhere stories live. Discover now