25 ❇ Menyatakan Perasaan

18 9 0
                                    

Jika bukan karena ilmu dan agama yang menjadi pegangan, laki-laki akan dibutakan oleh nafsunya. Sementara wanita, jika bukan karena ilmu dan agama yang menjadi pegangan, maka ia akan dibutakan oleh perasaannya.

❇❇❇

Hari ini pihak rumah sakit telah memperbolehkanku untuk pulang. Aku merasa sangat senang karena hari-hari membosankan di rumah sakit telah berakhir. Aku mengemasi barang-barangku untuk segera meninggalkan tempat ini.

Sambil menunggu taksi online yang telah kupesan, aku duduk di kursi panjang yang ada di depan rumah sakit bersama dengan seorang perawat yang hampir tiap hari tidak pernah absen untuk mendatangi ruanganku. Untungnya, aku tak pernah sendirian di kamar, karena ketiga temanku selalu bergantian menemaniku, artinya aku dan Rani tidak sampai berduan saja di dalam kamar itu.

Aku telah menceritakan kepada ketiga temanku tentang siapa Rani sebenarnya. Kukatakan kepada mereka bahwa Rani adalah temanku dari zaman SMK. Aku dan dia murni hanya sebatas teman biasa. Meskipun kadang hati kecilku seperti enggan menerima ketika mulutku mengaku demikian.

"Dil, sebenarnya kamu seneng gak sih bisa ketemu aku lagi setelah bertahun-tahun lamanya kita gak pernah ketemu," ujarnya pelan membuka percakapan.

"Tentu saja senang. Memangnya kenapa?"

Rani menggeleng. "Gak apa-apa, sih. Aku cuma ngerasa kamu yang sekarang benar-benar beda. Kamu udah banyak berubah. Kamu lebih pendiam, dingin dan tidak seasik dulu lagi. Kamu lebih banyak menunduk dan sering menghindari kontak mata denganku. Ada apa, Dil? Memangnya wajahku seburuk itu ya, sampai sepertinya kamu malas sekali menatapku lebih lama?"

Aku yang saat ini menunduk pun spontan mengangkat wajah saat dia mengatakan hal seperti itu.
Seperkian detik kutatap raut wajahnya yang saat ini telah berubah masam.

Entah bagaimana menjelaskan kepadanya bahwa setiap laki-laki normal sepertiku sebenarnya pasti memiliki naluri untuk tidak memalingkan mata terhadap ukiran wajah secantik itu. Hanya saja aku sadar akan batasan, aku tidak ingin mengindahkan apa-apa yang tidak diperkenankan oleh-Nya.

"Kenapa kamu berpikir seperti itu, Ran? Bukankan Islam memerintahkan wanita untuk menutup aurat karena islam sangat memuliakan wanita? Islam berusaha melindungi wanita dari tatapan buas para lelaki. Dan sekarang kamu telah menutup auratmu dengan rapih, lantas apakah aku masih pantas menatapmu secara berlebihan?"

Rani bergeming dan tidak merespon apapun.

"Jangan pernah berpikir seperti itu lagi, ya. Lagian aku yakin kamu juga pasti akan risih dan gak nyaman kalo aku tatap berlebihan. Yang paling penting, aku senang kok bisa ketemu kamu lagi, karena itu artinya kita bisa menjalin silahturahmi dan pertemanan seperti dulu lagi."

Rani malah tertawa sumbang. "Aku tidak yakin kita bisa mengulang pertemanan kita seperti dulu dengan kondisimu yang saat ini sudah berubah begitu agamis. Apa kamu tidak ingat pertemanan kita dulu bagaimana? Kita sering pergi berdua, menghabiskan waktu berdua, dan menikmati banyak masa-masa indah berdua. Kamu yakin mau mengulang hal itu lagi? Ingat, Dil, pertemanan kita dulu sudah seberlebihan itu."

Aku terdiam. Aku mengakui bahwa dulu aku memang sudah sejauh itu dengan Rani. Namun, itu dulu, saat aku masih begitu awam dan abai terhadap aturan agama. Dan untuk sekarang, aku benar-benar berat jika harus mengulang hal itu lagi.

"Bagaimana, Dil? Kamu yakin mau mengulang hal-hal seperti dulu denganku?"

Aku tidak bisa menjawab hingga aku hanya bisa membisu. Jika menuruti nafsu, tentu saja sebenarnya aku sangat mau bisa kembali selekat dan sedekat itu dengan Rani seperti dulu. Namun, aku tidak begitu berani menerabas batasan bergaul antara laki-laki dan perempuan secara berlebihan.

Journey Of My LifeWhere stories live. Discover now