16. Male Lead Kedua

840 130 29
                                    

"Sang pemilik kekuatan suci harus berada dalam kondisi sekarat kala ritual dilangsungkan."

Baik aku dan Helix langsung memucat.

Mengapa itu terdengar begitu mengerikan? Biar aku simpulkan kembali alasanku ingin mendukung kisah cinta Aurie dalam novel dan menghindari peran antagonis, itu karena aku ingin bertahan hidup. Karena mau bertahan hidup, bahkan merasakan perasaan sekarat pun aku tidak sudi.

"Tuan Aegis," panggil Helix, wajahnya kini menunjukkan sorot tegas, melenyapkan binar antusias yang sedari tadi menetap. "Saya memang mengagumi Anda, tetapi saya juga berperan sebagai pelindung Nona. Saya tidak akan membiarkan Anda mendapatkan kekuatan suci Nona."

Aegis menatap Helix dengan tatapan berkonflik. "Aku tahu bahwa permintaan ini tidak masuk akal, tetapi bisakah kamu mempertimbangkannya, Anak Manusia?"

Helix mengembuskan napasnya, mencoba untuk tenang. "Tuan Aegis, saya ... saya tetap pada pendirian saya sendiri. Saya ingin melindungi Nona, saya enggan membuat Nona berada dalam situasi yang tak nyaman."

"Mempertimbangkannya sedikit saja?"

Aegis masih keras kepala, hal ini membuat Helix menggigit bibirnya, meragu. Mungkin bagi pria itu yang telah mengagumi sang naga semenjak usianya lima tahun, Helix dilanda rasa dilema. Dia ingin mengabulkan harapan Aegis, tetapi enggan membuatku merasa sengsara atas perasaan sekarat.

Lagipula, siapa yang suka sekarat? Mendengarnya saja membuatku merinding.

"Mengapa Anda menginginkan kekuatan suci Nona?" tanya Helix, dia meremas kain celananya dengan gelisah. "Jika Anda mengungkapkan jawabannya, maka mungkin saja saya akan mempertimbangkannya."

Aegis menghela napas, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Cepat atau lambat, aku memang harus memberi tahukan alasannya pada kalian, Anak Manusia."

"Benar sekali, Tuan Aegis. Jadi, bisakah?"

Aegis menundukkan kepalanya. Lagi, sorotnya menunjukkan seolah dia tengah ditimpakan masalah besar.

"Aku ingin mati."

"Ya?" Helix mengerjap.

Aku mengerutkan dahi. Ingin ... mati?

"Aku dikutuk oleh Dewa Kegelapan sembilan ribu tahun yang lalu."

Jumlah hitungan di sana besar sekali sehingga aku tak ingin membayangkannya.

"Dikutuk, Tuan Aegis?" Helix mengulangi apa yang Aegis ucapkan.

"Kamu tak perlu tahu apa perkara yang terjadi di antara kami, tetapi kau benar, aku dikutuk tak bisa mati. Aku dijadikan mahkluk yang abadi. Mungkin kau pikir, terutama bagi para penyihir, naga kuno adalah makhluk kuat yang tak bisa mati. Meski nyatanya, seribu tahun adalah waktu maksimal bagi seorang naga untuk hidup. Namun, ini sudah sepuluh ribu tahun berlalu.

"Awalnya, aku menerima kutukan ini dengan senang hati karena siapa yang tak memimpikan keabadian? Akan tetapi, setelah ribuan tahun berlalu, puluhan ribu musim terlewati, dan kini aku mencapai angka sepuluh ribu tahun, itu mulai terasa memuakkan. Bagaikan hidup dalam neraka abadi. Aku menyaksikan orang-orang yang aku tahu mati satu-persatu, orang yang pernah menjadi bagian dari kehidupanku pergi karena usia memakan mereka. Menjadi abadi tidak semenyenangkan itu. Setiap detik yang berlalu, membuatku menderita; sengsara.

"Aku mencoba untuk membunuh diriku sendiri, ribuan kali, hingga aku lantas kehilangan angka hitungannya. Namun, aku kembali hidup tak peduli berapa kali aku mati. Bahkan jika leherku dipotong, sel tubuhku akan meregenerasi dan menghubungkan leher dan kepalaku kembali. Jika jantungku ditusuk itu akan kembali berdetak. Ketika aku menghancurkan perutku, organ—"

Accidentally, I'm Taking Over the Main Character's RoleWhere stories live. Discover now