15. Aegis de Ëirene

662 123 47
                                    

Vote dulu nggak sih? Biar penulis senang ☺️

***

Dinding bercat putih tak lagi menampilkan kilauannya, itu kusam dan pudar. Beberapa sisi dari tembok mulai retak dan menampikan sulur-sulur kecil dari akar tanaman. Meski begitu, setiap perabotan di dalam ruangan ini berkelas jika mengabaikan betapa mengerikannya suasana dalam ruangan.

Kata Helix, dia sengaja membiarkan tembok kediaman dibuat sehancur mungkin. Itu supaya keluarga Helix dapat bersimpati dengan kehidupan putra mereka dalam bangunan tak layak pakai. Padahal dia bisa saja merapalkan sihirnya, lalu keajaiban terjadi. Namun, dia memutuskan untuk hidup seperti ini demi menarik rasa simpati keluarganya.

Kami duduk di atas sofa yang dilapisi oleh beludru lembut, kualitasnya bagus seolah masih baru, dan cangkir teh masing-masing disajikan di atas meja persegi dengan ukiran abstrak dalam kayunya, tetapi tetap terlihat elegan.

"Aku baru tahu jika di dalam hutan ada sebuah kediaman," ujarku, membuka suara untuk yang pertama kali. Jemariku meraih cangkir teh di atas meja, menghirup wangi melati yang membuat tubuh rileks, sebelum meyesapnya perlahan.

Helix yang duduk di hadapanku tersenyum. "Ini adalah paviliun, Nona."

"Paviliun?" Aku mengerutkan dahi.

"Ingat, aku dibuang keluargaku, bukan?"

Aku mengangguk dengan ragu. Apakah tidak mengapa jika mengatakan kondisi menyedihkan itu dengan santai? Aku tahu dia sudah berdamai dengan situasi—yang aku juga tahu bahwa proses itu pasti sulit dilalui, tetapi ada perasaan tak nyaman yang menelusupi dadaku kala dia mengucapkannya seperti itu.

"Meskipun aku dibuang oleh keluargaku, mereka rupanya tetap memberikanku sebuah paviliun untuk ditinggali," Helix melanjutkan, dia pun meraih cangkir tehnya untuk diteguk isinya. "Meski memang, kondisi paviliun ini sudah jelek dan berada di tengah hutan, tetapi aku cukup nyaman tinggal di sini. Sebagai seorang penyihir kegelapan, aku tentu saja akan dikecam di kala kerajaan ini memiliki mayoritas penyembah Dewi Bulan dan penganut sihir cahaya. Apabila ada sosok yang berdiri di sisi Dewa Kegelapan walau sekali, maka sama saja seolah mereka telah melakukan dosa besar."

"Bukankah sangat tidak adil bagi Dewa Kegelapan? Dia pun adalah seorang dewa, bukan?"

Helix menggelengkan kepalanya sembari terkekeh geli. "Tidak akan ada yang mau memuja Dewa Kegelapan. Itu karena dia adalah dewa yang barbar dan menyukai kehancuran. Jadi, jika Nona mau bertahan hidup di Eimeir, simpan saja kekuatan sucimu itu dan jangan sesekali memihak Dewa Kegelepan. Sebab, dengan memiliki kekuatan suci saja, artinya kamu bisa memiliki segalanya."

Hipotesis Helix tak salah. Di dalam novel White Lotus, Aurie yang memiliki kekuatan suci membuatnya dapat memiliki banyak hak istimewa, yang tidak hanya menguntungkan Aurie,  tetapi pula Cerle, kemudian orang-orang yang dekat dengannya.

Aurie mendapatkan apa yang dia inginkan. Setiap orang yang berhadapan dengan sang gadis suci bagaikan akan bertekuk lutut padanya kala Aurie mengucapkan satu patah kata. Dia dipuja bak dewi, dipenuhi harapannya, dijaga kenyamanan serta keamanannya. Namun, tentu saja di balik keuntungan yang didapat, Aurie juga mendapat banyak kesialan. Itu sama-sama imbang.

"Apakah kekuatan suci bisa dipindahkan ke jiwa lain?" tanyaku, penasaran.

Helix mengerutkan dahi. "Tidak, sama sekali tidak. Anugerah yang turun pada satu jiwa berarti merupakan hak dari jiwa itu sendiri, tidak bisa asal dipindahkan begitu saja. Jika pun orang yang mendapatkan anugerah itu mati, maka kekuatan suci akan kembali kepada dewi."

"Lalu, mengapa pria aneh itu mengatakan seolah kekuatan suci bisa dipindahkan?" tanyaku, setengah berbisik, sambil melirik pria berambut jingga yang duduk di sofa single sambil menundukkan kepala, dia memiliki ekspresi kacau serta kalut yang nyata dalam wajahnya yang rupawan.

Accidentally, I'm Taking Over the Main Character's RoleΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα