7. Sebuah Kesalahan

732 145 35
                                    

Di Istana Terra, di mana Sonet Eimeir tinggal, terdapat sebuah gereja kecil yang dibangun di sudut istana, hampir tak terjamah karena terlalu tersudut. Sonet tidak pernah membiarkan orang lain memasuki gereja itu selain dirinya, kecuali ketika Sonet harus memerintah pelayan untuk membersihkan gereja. Sebab, Sonet enggan membuat ruang pribadinya, di mana Sonet dapat terhubung dengan Dewi Bulan secara langsung di dalam keempat dinding itu, berubah tata letak atau suasana ruangannya yang akan terasa berbeda.

Sonet dikenal sebagai pangeran yang angkuh dan egois, tetapi rakus akan takhta. Tidak hanya itu, Sonet jugalah satu-satunya keluarga kerajaan yang dapat terhubung langsung dengan Dewi Bulan, sehingga walaupun Sonet memiliki kepribadian yang buruk, keluarga kerajaan tetap mempertahankan Sonet di istana.

Kini, Sonet berada di gerejanya. Dia berlutut di atas lingkaran darah yang dipenuhi huruf kuno Eimeir yang sudah mengering, lalu ada porselen mewah yang menampung sebuah cairan kental berwarna pastel. Cairan itu adalah sebuah obat-obatan yang menjadi syarat sulit untuk terhubung dengan sang dewi. Sebab, setiap tumbuhan, bunga, atau rempah yang dicampur merupakan hal yang langka, hanya tumbuh di tanah surgawi sehingga baik Sonet atau Aurie kesulitan menemukan setiap bahannya. Obat-obatan itu akan dijadikan persembahan bagi Dewi Bulan, sebagai balasan bahwa Sonet dapat terhubung dengan sang dewi.

"Dewiku, di sini, Sonet Eimeir yang menghadapmu, hamba setiamu, keturunan dari keluarga kerajaan yang kau berkati," Sonet bergumam pelan, kedua matanya menutup rapat, dan kedua tangannya saling bertaut.

Sonet merapalkan kalimatnya bagai mantra, dengan perlahan, fokus, lalu mencurahkan perasaan yang bersih di hadapan sang dewi. Sebagai gantinya, cahaya perak dari langit-langit gereja mulai turun, itu redup pada awalnya, tetapi mulai benderang setelah satu menit berlalu.

Cahaya perak yang menyirami tubuh Sonet terasa begitu suci dan menyegarkan, bagaikan berenang dalam oasis di padang pasir yang panas. Perasaan gelisah atau takut pun perlahan lenyap, digantikan dengan ketenangan.

Pakaian mewah sang pangeran sedikit menari di udara kala semilir angin yang entah dari mana datangnya menerpa tubuhnya, helaian rambut abu yang sedikit gelap melambai di udara secara halus.

"Sonet, putraku."

Melodi dari suara itu terdengar agung dan lembut. Suaranya terdengar di mana pun, tetapi juga seolah tidak dapat didengar dari mana pun.

"Dewi Bulan." Sonet tersenyum, kedua mata perlahan terbuka. Dia bisa merasakan eksistensi agung sang dewi, tentu tak dapat melihat sosoknya yang tak perlu repot-repot turun dari surgawi menuju bumi hanya untuk menanggapi permintaan terhubung dari Sonet. Hanya saja, siraman cahaya perak dari langit-langit gereja, lantas semilir angin lembut saja, sudah dipastikan bahwa kehadiran sang dewi benar adanya.

"Dewi Bulan, aku memiliki sebuah permintaan." Sonet mendongakkan kepalanya, masih dengan kedua tangan yang saling bertaut.

"Sonet, tentu saja, putraku. Apa yang kamu inginkan? Tentu saja kamu tahu bagaimana ketentuannya, bukan?"

"Aku tahu, dewiku. Rapalkan apa yang menjadi permohonanku, lantas bayangkan satu kali dalam benak. Tidak ada kesempatan kedua untuk membayangkan permohonanku."

"Apa yang kamu inginkan?"

Sonet mengembuskan napasnya.

Seluruh orang di Eimeir mungkin memuja Sonet karena hanya dia yang dapat terhubung langsung dengan sang dewi, tetapi tidak semua orang tahu risiko dari terhubung dengan sang dewi. Bicara pada Dewi Bulan secara langsung seperti ini, sangat menguras energinya. Pikirannya mulai lelah, dan kesadarannya hampir kabur.

Pernah ketika Sonet pertama kali terhubung dengan Dewi Bulan, Sonet terlelap selama satu minggu, lalu sakit. Energinya benar-benar terkuras habis sehingga tubuhnya menyerah untuk tetap berdiri tegak.

Accidentally, I'm Taking Over the Main Character's RoleWhere stories live. Discover now