6. Kehadiran yang Kuat

806 147 11
                                    

Meski senja telah jatuh, aku yakin Aurie masih belum kembali ke kediaman Cerle karena saking banyaknya perkumpulan bangsawan yang harus dihadiri. Seperti kemarin, Aurie memang langsung mengunjungiku di kamar ketika dia baru saja kembali, tetapi malam sudah sangat larut dan aku sudah bersiap untuk tidur. Aku jadi merasa kasihan pada Aurie yang masih berpenampilan glamour walau jarum jam seharusnya sudah merayu Aurie untuk segera terlelap.

Jadi, selain Aurie, aku tidak perlu mengkhawatirkan siapa pun lagi di kediaman Cerle karena tak dapat menemukan aku di kamarku. Jika Tuan Count tahu bahwa aku menghilang, mungkin dia akan segera mempersembahkan sebagian hartanya pada Dewi Bulan atas rasa syukurnya, sehingga aku tidak berpikir untuk segera kembali dari jalan-jalanku bersama Helix.

Sebelumnya, Helix membawaku ke museum kuno mengenai sejarah Dewi Bulan, tetapi karena membosankan, aku segera menyeret Helix keluar dari sana. Kami memang membayar tiket masuk ke museum yang harganya cukup mahal, tetapi karena uang Helix berlimpah, aku tidak merasa sayang karena harus mengahabiskan puluhan koin dengan sia-sia karena hanya mengunjungi museum dengan singkat.

Makanya, daripada ke museum, di mana aku sangat payah dalam memahami letak seninya, aku lebih memilih untuk pergi ke perpustakaan kota. Jadi, di sinilah aku berada. Perpustakaan kota yang cukup besar, berada di pusat dekat alun-alun, lima ratus meter dekat Istana Eimeir.

Perpustakaan ini rupanya cukup ramai dan memiliki dekorasi mewah. Kami tidak perlu membayar untuk masuk, tetapi banyak kotak donasi yang ditempatkan di mana-mana.

Seperti kebanyakan bangunan di ibu kota, perpustakaan juga dicat dengan warna putih, banyak pola rembulan yang diukir dalam dindingnya, lalu ada patung bulan purnama ketika baru saja memasuki ruangan. Di dalamnya, kami ditawari pemandangan berupa ribuan buku dalam rak putih. Ada meja dan kursi untuk membaca, lalu meja resepsionis di mana kami bisa meminjam buku untuk dibawa pulang. Bisa dibilang, perpustakaan normal yang bisa ditemukan di duniaku yang sebelumnya.

"Uh, dari sekian banyak tempat, kamu memilih tempat ini, Nona?" keluh Helix, wajahnya masam.

"Hei, aku suka buku!" tegasku, sedikit nyolot.

Helix memutar bola mata. "Siapa peduli, aku membencinya, setiap kali membaca tulisannya, jiwaku rasanya akan berkurang sebanyak seribu tahun."

Kini, giliranku yang memutar bola mataku, Helix terlalu berlebihan. Lagipula, manusia mana yang bisa hidup ribuan tahun?

Aku lalu menghampiri rak buku terdekat. Meski Helix protes, dia dengan patuh mengekoriku.

"Jangan berlebihan, Tuan Helix." Aku menghela napas. "Katanya, kamu adalah seorang penyihir yang kuat, penyihir mana yang tidak belajar mantra di dalam buku?"

"Tentu saja aku belajar dari buku, bahkan sudah membaca ratusan atau ribuan sampai aku muak sendiri."

Aku mengabaikan celotehan Helix dan memandangi beberapa buku yang ditata rapi sesuai ukuran dan warnanya. Meski sebagian besar warna buku di dalam rak rupanya hanya berwarna cokelat atau merah kecokelatan, sehingga buku yang ditata rapi sesuai ukuran menjadi daya tarik lebih dibandingkan dengan warnanya.

Salah satu buku yang memiliki ornamen tiga dimensi dalam sampul bukunya menarik atensiku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menarik buku itu.

"Sejarah keluarga kerajaan yang diberkati oleh Dewi Bulan," gumamku.

Helix yang mendengarkan gumamanku langsung melirik buku dari balik pundakku. "Nona, aku berikan kamu saran, jangan membacanya, itu membosankan."

"Yah, siapa juga yang peduli dengan keluarga kerajaan." Aku kembali meletakkan buku itu di sela-sela buku lainnya. Setelah bertemu dengan Sonet, kesanku terhadap keluarga kerajaan melonjak turun, sehingga aku jadi tak tertarik dengan keluarga kerajaan. Meski male lead pertama Aurie adalah sang putra mahkota yang aku kagumi.

Accidentally, I'm Taking Over the Main Character's RoleWhere stories live. Discover now