1. Kilas Mundur

9.2K 473 136
                                    

APRIL 2012

Panas terik tanpa gulungan awan di atas kepala. Pukul 11 menuju siang di jam milik orang-orang. Setelah menaiki ojek dari sekolah, remaja lelaki itu menyusuri gang muat satu motor saja agar sampai di rumah. Berkemeja putih dan celana biru sebagai seragam, sedikit bau matahari pula, ia berlari tergesa-gesa. Mengarungi jalan cukup sempit dengan rumah-rumah saling berhadapan dekat.

Di sekolah tadi, mendapat kabar tidak mengenakkan. Memaksa cowok 15 tahun itu pulang lebih dulu dari teman-teman. Padahal, pukul 1 baru bisa pulang. Ia ditelepon seorang tetangga dengan suara pedih kepanikan. Hasilnya, terpaksa ia meminta izin pada guru fisika yang tengah mengajarnya untuk pulang cepat.

Kaki berlarian masih ia pacu cepat. Kini, rumahnya mulai terlihat. Sekitar rumah, tampak dikerubungi orang semua usia. Ada yang kakek-nenek, mas-mbak, ibu-bapak, anak-anak, juga balita dalam gendongan. Wajah-wajah mereka tegang, penasaran, melongok-longok ke dalam rumahnya.

Dada menyesak. Begitu telapak berlapis warrior-nya terdengar kian dekat, satu per satu orang menengokkan kepala. Mata-mata mereka menyiratkan pahitnya kepedulian. Menusuk-nusuk relung sang remaja bak anak-anak panah. Seakan mengoloknya yang bernasib kelewat malang. Remaja lelaki itu menyiapkan jiwa, sebab tahu hati kan segera hancur bagai kaca-kaca pecah.

"Adi! Bapakmu kabur, Di! Jangan dicari, nanti kamu kena juga!" seru seorang bapak begitu remaja itu sampai di kerumunan warga.

"Ruby di rumah Bu Marni, sama Zahwa," imbuh seorang mbak bernama Risma, memberi informasi agar sang kakak tak tambah kalang kabut karena mencari Ruby, adiknya.

"Di, coba lihat ibu kamu itu, aduuuh," lirih gemas nan frustrasi seorang ibu-ibu, tak sadar menambah kekacauan di kepala remaja itu.

Emeraldi Nazata, ia terengah-engah sambil mencerna semua. Segala duka memaksanya untuk menelan. Dadanya panas. Jantung menggedor-gedor dada, terasa berdetak hingga kepala. Raut dan ujaran panik para tetangga makin menekan pernapasan, memicu takut dan gamang di atas normal. Keringat mengucuri dahi, membasahi kemeja sekolahnya.

"Gimana ini, Bu?" Emeraldi bersuara panik, bertanya pada seorang tetangga terdekat, Bu Marni. Remaja usia 15 itu bingung harus menangis atau histeris. Bagaimana harus berekspresi, ke mana harus pergi. Masih di depan pagar, bingung mau masuk atau tunggu di sini.

"Udah dilaporin ke polisi sama Pak RT. Sabar, ya. Sini, sini, kita lihat ibu kamu," balas Bu Marni, lalu menarik lengan Emeraldi yang dilembapkan peluh dingin. "Eh, awas dulu, Pak, Bu. Adi mau masuk," kata Bu Marni menembus kerumunan belasan orang.

Wajar. Gang itu sempit, muat satu sepeda motor saja. Dikerumuni 20 orang pun sudah sesak dan pengap bau manusia. Apalagi, di rumah petakan yang tak seberapa. Pengapnya lebih gila.

Emeraldi masuk ke rumah petakannya itu, setelah berhasil keluar dari orang-orang ribut ingin tahu. Ia pun ingin tahu, lebih pantas tahu. Namun, tak mengatakan siap melihat Ibu yang telah ajal jemput.

Kanita Sara. Ibunya yang cantik dan masih muda, hanya 19 tahun perbedaan. Masih 34 tahun usia, tapi sudah berakhir kisahnya di dunia. Tragis pula. Mungkin itu terbaik untuk Kanita yang malang.

"Ibu...."

Emeraldi lemas. Tercengang. Pontang-panting dunia menghajarnya. Kaki serasa melayang, kepala pusing bak terbang. Merasa tak memijaki lantai. Namun, ia tetap menegakkan raga. Akan tetapi tak lama, jatuh juga pertahanan di bagian mata.

Jasad dingin Kanita Sara masih di atas ranjang. Penuh memar, luka, dengan mata terbuka. Di atas kasur berseprai abu muda, tempat ia meregang nyawa. Belum dipindahkan. Mengenaskan. Jantung Emeraldi ingin lepas. Takut, sedih, heran, gundah, hancur tak beraturan.

Ibu kenapa? Adi harus apa? Adi harus apa setelah ini? Adi harus ke mana? Adi harus apa? Bagaimana ini? Ibu meninggal? Kenapa Ibu meninggal? Pikiran Emeraldi diputar-putari kalimat kegamangan.

Bagaimana harus bertahan? Emeraldi sayang ibunya. Sayang teramat sayang. Namun, sayang seribu sayang, bagaimana kini harus melanjutkan kehidupan?

Tangan Emeraldi bergerak, hendak menutup mata ibunya. Namun, suara Bu Marni menghentikan, "Jangan dipegang, Di! Kali aja nggak boleh dipegang. Soalnya buat olah TKP," katanya mengingatkan.

Emeraldi tidak tahu apa itu benar. Apa iya tidak boleh menyentuh ibunya? Bu Marni sendiri tidak terlalu yakin, tapi ia berjaga-jaga saja. Dengar-dengar, jasad Kanita yang dicekik sampai mati harus divisum agar kian jelas semuanya.

Sangat kosong. Ingin jatuh seperti pohon roboh. Hatinya berlubang-lubang, melompong. Remaja itu terduduk di samping kaki ranjang kopong. Menangis, meremas seprai kuat-kuat. Tersedu-sedan. Merasakan hati yang robek bak kain perca bekas. Makin lama, makin terasa.

Sakit itu kian jelas. Hati melebur bagai cairan. Emeraldi akan jadi orang paling lemah, akan jadi lelaki paling menyedihkan di dunia.

To be continued...


CATATAN:
Halooo. Liya ada cerita marriage life baru, tentang Emeraldi dan Medianna namanya☺️ Oh ya, silakan cek cerita marriage life Liya yang lain, siapa tau ada yang belum kamu baca dan minat membacanya☺️

 Liya ada cerita marriage life baru, tentang Emeraldi dan Medianna namanya☺️ Oh ya, silakan cek cerita marriage life Liya yang lain, siapa tau ada yang belum kamu baca dan minat membacanya☺️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*Cerita ini murni buatan purpleliyy Jika ada kesamaan dalam bentuk apa pun, itu hanya sebuah kebetulan😊

*Silakan tambahkan cerita ini ke library jika berminat membaca kisah selanjutnya. Jangan lupa vote+komentarnya, ya. Terima kasih dan sampai jumpa di bab selanjutnya💜

CAN'T HURT YOU BACK ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang