24. | Menjatuhkan hati

Start from the beginning
                                    

Kagendra menyipitkan mata. "Menurutmu aku bukan suami yang seharusnya?"

"Aku tahu kamu mau bawa Lyre balik ke Jakarta dan untuk kondisi sekarang itu bukan pilihan yang bijak."

"Kehidupan kami di sana."

"Di sini juga seharusnya menjadi tempat aman bagi kehidupan kalian."

Kagendra ikut bersedekap. "Kamu tahu sendiri, kalau Lyre yang sengaja mengambil jarak dari orang tuanya di sini. Dia yang memang memilih untuk hidup bersamaku dibanding kembali pada—"

"Lyre sudah menjadi menantu yang baik di rumah kita sementara kamu bahkan enggan berusaha."

"Aku sudah mencoba dan mendapat penolakan."

Desire mengangguk-angguk. "Kalau pola tindakan Lyre setipe kamu gini, enggak bakal ada Ravel di keluarga kita."

"De—"

"Kenapa Ravel tumbuh sebaik ini? Kenapa dia merasa bahagia dalam keluarga kita? Kenapa dia bisa sayang banget sama kamu? Itu karena Lyre enggak nyerah, berapa kali pun kamu menolaknya dulu." Desire menatap Kagendra lekat. "Lyre enggak akan menjadi lebih baik, kecuali kamu juga begitu ... pernikahan kalian juga akan sama saja, kalau kamu tetap sepayah ini."

"Aku payah?" seru Kagendra dan mendelik.

"Waffa bilang aku harus sabar, untuk enggak langsung pukulin kamu ... dan kamu harus tahu, aku berusaha untuk sabar banget dari tadi." Desire melirik ke komputer tablet di meja. "Aku akan ikuti cara-cara kamu dan membantu menyelamatkan pernikahan kalian, tapi aku enggak setuju kalau caranya hanya bikin Lyre makin tertekan."

"Dia enggak akan tertekan, dia akan baik-baik saja, stabil sekaligus bahagia seperti yang seharusnya."

"You've to remember, her condition isn't permanent." Desire mengurai kedua lengannya dan kembali menjangkau komputer tablet milik Lyre, melihat layarnya menyala dan menampilkan wajah tertawa Ravel. "Kalau kelak ingatannya pulih dan kamu berhasil memperbaiki diri, memperbaiki pernikahan, memperbaiki hubungan sama keluarga Kanantya, saat itulah Lyre baru merasa bahagia."

"Aku akan memikirkannya, tetapi sementara kamu urus ini dulu," ucap Kagendra dengan raut wajah datar, yang terpenting mendapatkan kerja sama Desire dulu.

"I know your trick, Ka," sebut Desire dan tertawa geli. "Aku enggak akan mengurus apa-apa sampai yakin—"

"I love her, okay?" sela Kagendra cepat lalu memejamkan mata. Tidak mudah untuk mengakui ini, tetapi harus dilakukannya agar Desire mau membantunya. "Aku mulai sadar penuh sekitar setahun yang lalu dan mencoba menunjukkannya. Lyre yang tetap biasa aja, dia enggak bereaksi terhadap perhatianku, enggak merespon ketika aku berusaha lebih dekat ... dia tetap sama saja."

Desire mengerjapkan mata. "Terus kenapa ka—"

"Aku sengaja mengajukan perceraian bukan karena mau bercerai. I just want to know, seperti apa Lyre bakal merespon ... bagaimana dia bicara, seperti apa pernikahan yang dijalaninya selama ini, bagaimana dia melihatku sebagai suaminya." Kagendra membuka matanya lagi dan geleng kepala. "I know it's stupid, but—"

"That's really stupid," ungkap Desire.

Kagendra berdecak. "Just listen to me first."

"Kalau kamu mau tahu perasaannya Lyre seharusnya kamu nanya, bukan ngajak cerai, Kaka! You're so idiot!"

"Aku berusaha nanya, waktu anniversary pernikahan ke-empat ... it's romantic dinner dan aku nanya, what do you feels right now? Dia jawabnya datar banget; good, makanannya enak." Kagendra sekali lagi menghela napas panjang. "Lyre tuh ... ck! Dia jawab setiap aku nanya, dia nurut melakukan yang aku minta. Tapi kecuali urusan Ravel, kecuali kewajiban formal suami-istri, dia beneran dingin, seperlunya ... she keeps the distance."

REPEATEDWhere stories live. Discover now