chapter 5 - sekte abal-abal

Start from the beginning
                                    

"Mana makanannya?" Jeno dengan rambut blonde acak-acakan bertanya heran karena tak menemukan apapun di atas meja.

Tanpa semangat aku menggedik ke arah panci di wastafel. Melihat keadaannya, aku yakin Jeno akan tahu tanpa harus dijelaskan. Matanya yang sipit menajam. "Memangnya sejak tadi apa yang kamu lakukan sampai lalai seperti ini?"

Benar juga. Melakukan apa, ya? Hm. Apa aku bersantai di ruang tengah sambil mengutak-atik ponsel? Tidak. Itu Jaemin.

Oh! Apa aku sibuk memilih pakaian mana yang cocok untuk kehangatan musim semi? Tentu tidak. Bodoh. Mark yang melakukannya.

Lalu apakah aku orang yang baru selesai mandi lalu SERTA-MERTA MENGOMEL KARENA TIDAK MENEMUKAN SESUATU UNTUK MENGISI PERUT PADAHAL TIDAK BERKONTRIBUSI DI DAPUR SAMA SEKALI?!

"Tck. Aku akan cari makan di perjalan saja."

Seharusnya dia mengatakan itu sejak tadi, bukan malah menyulut sumbu kesabaranku yang kependekan.

Perginya Jeno menghancurkan seluruh hasrat hidupku. Apalagi melihat dia bermuka kecut, aku tergugah untuk meludari sikap tidak tahu terima kasihnya. Beruntung aku tidak tidak berani. Kalau iya, niscaya sudah kulakukan sedari dulu.

"Yak! Park Jisung! Pasti kamu, kan yang menumpahkan kopi ke laptopku?!"

"Tidak! Aku bahkan tidak pernah menyentuh laptopmu yang ada di meja Haechan hyung!"

"Itu kamu tahu di mana letak laptopku padahal aku tidak mengatakannya! Kamu, kan pelakunya?!"

"Itu artinya bisa saja Haechan hyung!"

"Bukankah sudah kubilang jangan menaruh barangmu di tempatku?" Haechan masuk ke dalam kontroversi, dahinya terlipat dengan sorot mata menghakimi.

"Tuh kan, Haechan hyung pasti kesal makanya dia–"

"Jangan menjadikanku kambing hitam atas kecerobohanmu sendiri, Jisung."

"PARK JISUNG!!"

Kekacauan yang sedang terjadi di sini bahkan bisa membuat guru BK bertekuk lutut. Malas terlibat, aku naik ke lantai dua.

*

"Sabunnya sudah habis."

Satu suara meletup pertama kali setelah cukup lama aku tidak acuh pada hening yang mengurung kami di ruang cuci.

Maaf saja, tapi aku sibuk. Sedang tidak bisa menangapi.

Seksama aku menyotrir baju putih agar tidak tercampur dengan warna lain. Pula agar setan-setan penunggu dorm tidak mengamuk lalu meminta ketentramanku sebagai tumbal. Dan siapa bilang ketika tidak memiliki semangat, aku boleh berleha-leha? Mau seburuk apapaun cuaca yang mendekam di sanubari, segunung pakaian sudah duduk cantik menati untuk dibersihkan.

"Kamu mulai tuli sekarang?"

Aku mendengus. "Di tempat biasanya persediaan disimpan."

Hening yang melanda terasa janggal, seperti ada sesuatu memperhatikanku sejak tadi. Berbalik. Nah, dua bola mata sedang menghujani punggungku dengan sorot sengit. Jaemin bersandar pada mesin cuci di belakangnya, bersidekap dada sembari menyebar hawa tidak enak. Aku langsung paham apa yang terisrat lewat sikapnya ini.

"Tidak bisakan kamu mengambilnya sendiri?" Pertanyaanku berirama lelah yang amaaaaat sangat. Tidak tahu lagi harus menahan kesal dengan cara apa.

"Malas."

"Ayolah, Jaem ...." desahku. Lelah sekali dengan kelakuannya yang begini.

Mendengar keluhan itu, alis Jaemin seketika turun. Semena-mena dia berkicau, "Cucikan bajuku sekalian."

cromulent | jaemrenWhere stories live. Discover now