44. Bahagia dan Sedih Yang Bersamaan

187 42 15
                                    

Rena

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Rena

“Kak tunggu, kakiku sakit.”

Aku jongkok di lorong rumah sakit dan hambat lari Kak Regal sewaktu Kak Regal geret aku tanpa tau kakiku lecet karena aku pakai flatshoes. Saking paniknya sama kabar itu. Aku langsung nyamber flatshoes punya Kak Sera dan bahkan nggak pamitan. Aku langsung ikut Kak Regal ke rumah sakit naik motor dia.

Di sepanjang perjalanan tadi Kak Regal ngebut. Aku tanya ada apa, siapa yang sakit ke ke rumah sakit. Tapi Kak Regal belum jawab.

“Kamu bisa cepat tidak sih?! Lambat sekali jalanmu!” bentaknya dan setelah itu Kak Regal pergi ninggalin aku yang jongkok di depan kamar mayat.

Aku terdiam setelah dibentak Kak Regal. Dadaku bergemuruh dan merasa sakit. Kenapa Kak Regal semarah itu? Sebenarnya ada apa?

Sirine ambulans kedengeran keras. Aku ikuti langkah Kak Regal yang udah jauh sambil lepas flatshoes ku. Seharusnya nggak perlu jauh jalannya. Cuma lagi ada perbaikan di rumah sakit, makannya tadi masuk lewat gedung samping.

Kak Regal berhenti di IGD. Brankar rumah sakit didorong dengan keluar dari Ambulans. Tangis histeris Kak Regal meluap ketika dua kantong jenazah diturunkan dengan satu orang terbaring di atas brankar. Aku mendekat.

Tubuhku terdorong dan aku tersungkur. Mereka cepat membawa orang-orang itu masuk. Pikiranku berkelana entah ke mana ketika melihat brankar dengan Revan yang bersimbah darah melewatiku begitu saja masuk ke ruang IGD.

Aroma anyir darah menyadarkan ku bahwa itu sungguhan Revan.

“Tolong biarkan saya masuk!” Kak Regal menerobos masuk ke dalam. Namun petugas menghentikannya. Aku seakan tak bisa bergerak. Berdiri di sebelah tanaman keladi besar dan menatap semuanya dengan seksama. Tiba-tiba tubuhku bergetar hebat. Pintu ditutup.

Aku bahkan nggak berani jalan mendekat ke arah kekacauan Kak Regal di sana. Perlahan mataku memanas. Dering telepon dari panggilan nomorku bahkan tak aku hiraukan. Itu pasti Kak Sera yang mencari keberadaanku.

Maaf kak, aku punya urusan di sini. Kak Sera, jika ia tau Revan seperti ini. Pasti ujiannya tidak akan berjalan dengan lancar. Aku sangat tau jika Kak Sera ingin sekali menggaet peringkat satu di jurusan angkatannya.

Aku harus bagaimana?

Histeris tangisan Kak Regal semakin menonjok wajahku. Aku kembali menjadi Rena yang tak berguna. Hanya bisa mematung dan menitihkan air mata. Bingung.

Tapi aku tak akan diam. Aku dekati Kak Regal. Persetan dengan disembur amukan mahadewanya, aku tidak peduli.

Aku memeluk dia yang menangis hebat. Menahan tangannya supaya tak terus meremas rambutnya yang tak salah apa-apa. Mendekapnya walau mungkin itu tak bisa mengurangi perasaan berkecamuknya.

“Orangtua saya Rena. Orangtua saya meninggal, Ayah, Ibu mereka sudah tiada Rena.” Tangisan menginvasi koridor IGD. Pilunya menamparku habis-habisan. Tak ada angin tak ada hujan, kehilangan orangtua sangat menghancurkan kita entah sekarang atau di masa depan.

Regal & Rena Where stories live. Discover now