𝟚

8.7K 922 239
                                    

˗ˏˋ ᴀɴ ᴏᴄᴄᴀsɪᴏɴᴀʟʟʏ ᴛʀᴜᴇ ʀᴇᴛᴇʟʟɪɴɢ ᴍʏᴛʜ ᴏʀ ғᴏʀ sᴏᴍᴇ ᴘᴇʀʜᴀᴘs ᴀ ʟᴇɢᴇɴᴅˎˊ˗

˗ˏˋ  ᴀɴ ᴏᴄᴄᴀsɪᴏɴᴀʟʟʏ ᴛʀᴜᴇ ʀᴇᴛᴇʟʟɪɴɢ ᴍʏᴛʜ ᴏʀ ғᴏʀ sᴏᴍᴇ ᴘᴇʀʜᴀᴘs ᴀ ʟᴇɢᴇɴᴅˎˊ˗

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

Yang Tersisa Hanya Kegilaan


𝔾elap dan terang. Keduanya tak terpisah bagai anak kembar yang berbagi kandungan. Kenapa jika diterpa sinar yang terik pasti disusul dengan kegelapan? Nyaring dan banter. Kenapa telinga pasti akan cepat menerimanya dan memprosesnya jadi suatu hal yang memekakkan?

"Brie!" pekikan dari arah kanan membuat gadis itu membuka mata. Hal pertama yang ditangkap netranya adalah puluhan kepala berkerudung lusuh yang berdiri berdesakan di depan.

Ia mengerjapkan mata satu kali. Jeritan tangis saling bertimbalan dari bayi-bayi yang digendong. Satu rengekan tangis ketakutan terdengar begitu dekat di telinga Brie. Surai perak dalam gendongannya berusaha menggapai-gapai seseorang di sebelah. Ia kerjapkan mata kedua kalinya. Hidungnya mencium bau apak di tembok batu, bercampur dengan keringat, dan... air seni?

"Briseis!" pekikan kedua membuatnya menoleh juga ke kanan. Seorang perempuan berdiri tepat di jendela tak berkaca. "Aku lebih baik mati daripada kehormatanku direnggut! Aku lebih baik mati... daripada harus dikangkangi serdadu keji tak beradab itu..." adunya.

Perempuan itu bersurai serupa dengan bayi di gendongan Brie. Mata bulatnya sudah memerah karena tangis tak berkesudahan. Pancaran frustasi, marah, dan sedih tercermin di sana. Namun, yang paling menakutkan adalah adanya sebercak...

"Susul aku, My Lady." Kegilaan. "Ayo ikut denganku," ajak perempuan itu lagi sebelum menghuyungkan badan ke belakang. Tak ada penghalang apapun dari balik jendela yang dapat menangkapnya. Maka perempuan —yang bisa jadi lebih muda ketimbang Brie— tersebut meluncur dengan bebas dari salah satu sayap di bangunan tinggi itu.

"Tidak!" teriak Brie berusaha untuk menjangkau si perempuan tak bernama. Sayang cuma hempasan udara saja yang tertinggal ketika ia menyembulkan diri ke jendela. Tangannya yang terjulur ke luar gagal menggapai perempuan itu.

Mulut Brie tak terkatup. Pupil matanya melebar dan muncul sedikit rembesan di sekitar pelupuk. Tangisan si bayi terdengar lebih santer dari sebelumnya. Ikut kaget dengan teriakan orang yang menggendongnya, mungkin.

Didekapnya bayi dengan balutan kain abu-abu itu lebih erat. Brie membiarkan dirinya didesak dan disenggol oleh perempuan lain di belakang tetapi ia tetap bertahan di posisinya berdiri. Bunyi patahan tulang yang beradu dengan kerasnya tanah terdengar seperti musik yang mengiringi kepulan asap di tiap sudut kota. Dari jendela ini, Brie dapat melihat, mendengar dan mencium sekelilingnya. Yang paling mencekam adalah segala hal tadi terasa begitu nyata di panca inderanya.

Dobrakan dari prajurit bersenjatakan tombak merangsek masuk ke kotamara. Membelah bentangan perempuan-perempuan malang itu. Mereka seret kerudungnya kasar sampai tercekik, dihantam keras dengan perisai supaya berlutut, bahkan ada yang ditelanjangi barbar di tempat saat itu juga.

The Bride Who Never WasWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu