Bab 21: Kunjungan Teman (3)

342 49 7
                                    

Mendengar jawaban yang diberikan Winter, seketika suasana menjadi hening. Tak ada satupun yang berani angkat suara, hingga menyebabkan keadaan dalam ruangan menjadi canggung satu sama lain.

Baik Mark, Renjun, dan Chenle saling melemparkan tatapan satu sama lain, bermaksud memberikan kode untuk siapapun di antara mereka agar berani membuka suara untuk memecahkan kehingan, tetapi tak ada satupun di antara mereka yang mau membuka mulutnya.

Hhhh ... Mark menghela napasnya. Akhirnya mau-tak mau ia yang buka suara karena dia adalah yang paling tua di antara teman-temannya.

"A-ah gitu ..." Mark berujar dengan suara yang berusaha terdengar sebiasa mungkin---tak ingin menyinggung Winter---. Matanya bergerak ke arah kiri, berpikir apa lagi yang harus dikatakannya. Tiba-tiba saja satu ide muncul dalam benaknya, "Oh, ya! Sini, Winter! Kita ada ayam goreng ... tunggu, ya!"

Mata Mark tampak memindai persiapan di atas meja, tetapi dia merasa dirinya telah kehilangan sesuatu, hingga akhirnya setelah beberapa detik berpikir, Mark tahu apa yang ia lupakan.

Mark kemudian menepuk jidatnya sendiri, "Ya ampun, gua lupa lagi beli bir buat kita minum," ujar Mark.

Mendengar hal itu, sontak saja mata Renjun dan Chenle melihat ke meja dan mendapati ada sesuatu yang kosong di antara 3 piring ayam goreng itu.

"Makan ayam goreng enggak ada bir sama aja boong," komentar Renjun.

"Yaudah beli bir gih sana," balas Chenle.

Renjun mendecak, "Kan ada wine."

"Orang gila mana yang siang-siang bolong gini minum Wine. Sono keluar." Chenle menendang Renjun menjauh. Ia tak ingin yang disuruh pergi keluar, jadi dia mengorbankan Renjun.

Mark pun mendukung Chenle, "Ya, beli bir gih sana, Jun, bareng Jaemin."

"Lho kok sama gua?" protes Jaemin tak terima karena namanya main dibawa-bawa saja oleh Mark.

"Kan lu orang yang tinggal di sini, pasti lu lebih tau daerah sini," Mark memberikan alasan yang tepat, tetapi Jaemin tentu tidak ingin.

"Chenle aja," balas Jaemin.

"Gua males, mau nonton."

"Gua kan mau bantu-bantu ngenata dulu, Jaem," ujar Mark saat Jaemin menatapnya seakan ingin melubangi kepalanya.

"Mau gua bantuin, Jaem?" pertanyaan yang dilontarkan Jeno membuat Jaemin segera berdiri dan menarik Renjun keluar.

"Jeno aja, sih! Jeno aja!" seru Renjun saat Jaemin menarik dirinya.

Jaemin berhenti tepat di hadapan Winter, membisikkan beberapa kata kepada Winter yang membuat semburat merah muncul ke permukaan pipi Winter. Setelahnya, Jaemin bermaksud pergi, tetapi melihat Haechan yang ingin menyapa Winter, Jaemin pun menarik kerah belakang pakaian Haechan.

"Lu juga ikut!" Seru Jaemin kepada Haechan.

Belum sempat Haechan mengajak Winter berbicara, dirinya sudah dibawa pergi oleh Jaemin. Suara pintu yang tertutup membuat seluruh orang kembali ke aktivitas mereka kembali.

Mark dengan kesibukannya, Chenle dengan filmnya, dan Winter memilih untuk duduk di bangku makan yang tak jauh dari ketiga teman Jaemin itu.

Winter memutuskan untuk tidak bergabung dengan Mark dan Chenle saat Mark menawarinya, seperti yang dipinta Jaemin kepadanya.

"Pokoknya tunggu gua pulang, jangan ngobrol sama mereka. Deket-deket juga enggak boleh."

Winter lagi-lagi tersenyum saat mengingat peringatan konyol yang datang dari Jaemin. Apa emang biasanya Jaemin bisa bertingkah semanis ini?

"Halo, Winter?"

Lamunan Winter buyar saat mendengar sebuah suara berat menyapanya. Winter sedikit mengangkat kepalanya dan menemukan presensi Jeno yang berdiri tak jauh darinya itu tengah tersenyum ke arahnya.

"Udah lama kita enggak ketemu, boleh gua duduk di sini?" tanya Jeno basa-basi, tapi Winter tak terlalu menanggapinya.

Tanpa menunggu jawaban Winter, Jeno lantas duduk di seberang Winter. "Gua seneng kita ketemu lagi."

Winter mengembuskan napasnya, kemudian memasang senyumnya, "Iya, aku juga."

Jeno tertawa kecil saat mendengar jawaban yang diberikan Winter, "Enggak usah terlalu formal gitu sama gua," ujar Jeno.

"Lu tau gua, kan?"

Pertanyaan yang dilontarkan Jeno membuat Winter mengangkat sebelah alisnya. Pandangan Winter kemudian beralih pada Mark dan Chenle yang masih berada di tempat mereka, keduanya itu tampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

"Maksudnya?"

Melihat reaksi yang diberikan Winter, Jeno berdeham panjang. Kedua manik jelaganya yang legam sama sekali tak melepaskan Winter dari pandangannya.

Kedua tangannya kemudian Jeno taruh di atas meja untuk ia tautkan dan letakkan di depan wajah.

"Gua enggak percaya apa yang gua denger, ternyata Jaemin enggak cerita apapun tentang gua ke lu ya, Winter. Bukannya lu istrinya Jaemin? Lu beneran istrinya Jaemin, kan?"

Pertanyaan yang diajukan Jeno berhasil memancing emosi Winter. Winter berusaha untuk mempertahankan senyumannya meski dalam hati merasa dongkol sendiri.

"Tentu saja aku istrinya Jaemin," jawab Winter penuh penekanan. Ia merasa percaya diri saat menjawabnya.

"Ini aneh. Bukannya harusnya Jaemin tetap ngeceritain tentang gua kalau benar kalian adalah pasangan suami-istri? Atau jangan-jangan kemarin Jaemin terpaksa menikah sama lu?"

"Maksudmu apa?"

"Jangan tersinggung, Winter. Bukannya lu baru kenal sama Jaemin? Kalo gua enggak salah inget ... Satu? Atau dua minggu? Dan kalian langsung menikah dengan perkenalan sesingkat itu? Bukannya terlalu cepat, ya? Alasannya apa lagi kalau bukan terpaksa, ya kan?"

"..."

Jeno tersenyum kecil saat melihat reaksi Winter yang terdiam, "Apa gua salah, Winter? Apa kalian dijodohin? Tapi setau gua, orang tua Jaemin sampe saat ini belum sekalipun ngelakuin perjodohan buat Jaemin. Jadi apa sebenarnya alasan kalian menikah?"

Mendengar pertanyaan yang diajukan Jeno, Winter memberikan tatapan menghunus ke arah Jeno. "Enggak peduli apapun alasannya, aku tetaplah istri Jaemin, Jeno. Sedangkan kamu? Kamu hanya teman Jaemin. Apa hakmu bertanya hal itu kepadaku?"

"Hahaha ..." Jeno tertawa kecil sebagai respon atas jawaban yang diberikan Winter. Lidahnya berdecak kagum, sesekali bertepuk tangan.

Setelah puas memberikan reaksi kagum yang cenderung mengejek itu kepada Winter, Jeno merenggangkan tubuhnya seakan tidak ada yang terjadi di antara mereka. Pun usai meluruhkan rasa lelah yang mendera tubuhnya, Jeno menyandarkan tubuhnya pada kursi. Pandangannya sama sekali tak lepas dari Winter.

"Gimana kalau gua bukan hanya sekadar temen Jaemin?"

Mata Winter terbelalak saat mendengar perkataan Jeno. Bagaimana kalau bukan hanya sekadar teman? Apa maksud dari pertanyaan itu.

"Nah, sekarang jawab pertanyaan gua, Winter. Gimana kalo gua bukan 'cuma' temen Jaemin. Apa yang mau lu lakuin? Apa lu bakal jawab pertanyaan gua tadi?"

Winter masih terdiam, memproses apa yang terjadi. Otaknya masih mencerna seluruh perkataan Jeno. Tak ada satupun yang masuk ke dalam akalnya, tetapi Winter tidak memiliki bukti kuat untuk membalikkan perkataan Jeno. Lee Jeno masih terasa samar bagi Winter.

"Nah, kan. Ini yang ngebuat kita berbeda. Lu enggak tau semua tentang gua dan Jaemin, sedangkan gua? Gua tau seluruh hal tentang Jaemin, Winter. Ada satu rahasia Jaemin yang selama ini enggak semua orang tau, lu tau apa?"

Jeno bergerak mendekat ke arah Winter, berbisik di dekat telinga Winter, "... Jaemin itu impoten. Iya, kan?"

Setelah bertanya, Jeno menjauhkan dirinya dari Winter. Kedua netranya diam-diam mengamati ekspresi yang diberikan Winter. Benar-benar sempurna.

DE(VI)LICIOUS SERIES [WHITORY VERS.] - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang