Prolog

131 36 6
                                    

Aku berjalan dengan cepat menelusuri lorong rumah sakit, langkah kaki ku begitu tergesa-gesa, jantung ku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku benar-benar tidak bisa tenang, sesuatu mengganjal hati dan pikiran ku. Pupil mata ku melihat sekitar dengan begitu cepat dan khawatir, pikiran ku hanya tertuju pada ruang nomer 17, dimana pacar ku di rawat.

Tak bisa dipungkiri, sekali lagi, aku benar-benar khawatir. Rasanya campur aduk, aku juga begitu takut dengan apa yang sedang terjadi. Beberapa Minggu yang lalu aku dan dia baik-baik saja, tapi aku rasa dengan tak adilnya Tuhan menjatuhkan dirinya begitu saja dalam sepersekian detik. Aku memang tidak bisa menyalahkan siapapun, tapi aku bisa menyalahkan aku.

Bagaimana tidak? Kalau saja aku tidak sering-sering mengajaknya keluar untuk sekedar main, makan, dan lain sebagainya, mungkin penyakit gagal jantungnya tidak akan kumat seperti ini. Oh Tuhan, seandainya memang aku lah penyebabnya, ambil saja aku lebih dulu, dia lebih pantas hidup dengan baik. Kalau saja... Ah! Basa-basi! Kepala ku tiba-tiba terasa sakit, begitu sakit sekali. Rasanya seperti ada batu besar yang menimpa kepala ku, lalu jatuh begitu saja.

Tunggu, ruang nomer 17! Ada dihadapan ku! Langkah semakin ku percepat, secercah senyuman dengan lengkungan bulan sabit timbul di wajah ku. Setelah 15 menit mencari-cari ruangan tempat pacar ku di rawat, akhirnya aku menemukannya, hati ku mulai merasa tenang dan aman.

"Ratu!" Tiba-tiba, seseorang memanggilku dari arah belakang, kedengarannya begitu kencang dan familiar. Akhirnya aku memutuskan untuk memberhentikan langkah kaki ku, aku menoleh ke belakang, aku lihat siapa yang memanggil ku.

"Tante?" ucap ku dengan kedua alis yang terangkat, sedikit kebingungan. Barusan yang memanggil ku adalah Ibu dari pacar ku, aku lumayan dekat dan akrab dengannya, alih-alih memasang wajah datar, aku begitu sumringah dan memasang senyum lebar, lalu melambaikan tangan kepadanya.

"Tante..." Tunggu, seharusnya dia ada di dalam ruangan bersama anaknya, biasanya.. begitu, bukan?

Ia sedikit berlari untuk menghampiri ku, wajahnya terlihat begitu lelah. "Ratu... kamu mau masuk ruang rawat Nakula, nak?"

Aku mengangguk kebingungan. "Iya, Tan." Jelas aku ingin masuk dan menjenguk Nakula, tapi kenapa dia bertanya seperti itu? Seakan-akan, ada sesuatu yang tidak boleh aku ketahui?

Setelah aku menjawab pertanyaannya tadi, Ibu Nakula menyuruh ku duduk diatas kursi rumah sakit. Mungkin ia ingin mengajakku mengobrol.

"Kondisi Nakula semakin kritis, Nak. Dokter tidak boleh mempersilahkan masuk siapapun kecuali yang diizinkannya," jelas Ibu Nakula.

Aku mengkerutkan kedua alis ku.

"Ada satu hal lagi yang harus Tante sampaikan kepada kamu," kata Ibu Nakula dengan raut wajah serius.

"Kenapa, Tan..?" tanya ku keheranan.

"Kamu tahu, kan, Nakula sejak kecil sudah mempunyai penyakit gagal jantung?" Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Semakin besar, semakin dewasa, penyakit itu terus semakin membuat tubuhnya kesakitan, kondisinya semakin parah. Setelah di periksa oleh dokter tadi... penyakit gagal jantung Nakula sudah masuk stadium akhir, alias stadium 4. Sejak dibawa ke rumah sakit beberapa hari yang lalu, Nakula gak sadar kan diri sampai hari ini, tubuhnya semakin melemas, semakin pucat, dan detak jantungnya semakin tidak normal. Ibu takut, Nak... Ibu takut..."

Ku lihat, setetes dua tetes air mata mulai membasahi wajah Ibu Nakula, ia dengan cepat menyeka air mata tersebut, lalu mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Sedangkan aku masih diam dan menunggu kelanjutan penjelasan dari Ibu Nakula. Tangannya mulai menggenggam jari-jemari ku, aku pun membalasnya dengan lebih erat.

"Ibu pengin Nakula cepat sembuh, begitu juga dengan kamu kan, Nak?" Aku mengangguk pelan. "Mungkin ini akan jadi kabar terakhir Nakula untuk kamu, Ratu."

"Maksud Tante?" Alih-alih merasa sedih, aku justru jadi kebingungan dengan kalimat terakhir yang diucapkan oleh Ibu Nakula tadi. Apa maksudnya? Apa maksud dari kabar terakhir? Apakah setelah ini aku tidak akan bertemu lagi dengan Nakula?

"Jadi gini, Nak," ucap Ibu Nakula. "Karena penyakit yang di derita Nakula semakin parah dan membutuhkan pengobatan yang lebih ekstra, Nakula akan kami bawa ke luar negeri dalam jangka waktu yang panjang."

Aku seketika terdiam, benar-benar terdiam. Mata ku mulai menunjukkan sorot kesedihan. Bagaimana mungkin? Bagaimana dengan ku? Apakah kalimat yang baru saja dikatakan Ibu Nakula tadi adalah kabar terakhir Nakula untuk ku? Lalu setelahnya bagaimana? Apa aku tidak akan mendapatkan kabar lagi? Oh Tuhan! Bagaimana aku bisa merelakan orang yang aku cinta? Bagaimana aku bisa mengikhlaskan apa yang akan hilang dari ku?

Dua keputusan sekarang ada dihadapan ku. Antara melupakan dan mengikhlaskan, atau tetap bertahan. Aku bimbang, benar-benar bimbang. Nakula adalah cinta pertama ku, bagaimana aku bisa melupakannya? Tapi apa bisa menjamin bahwa Nakula bisa sembuh dari penyakitnya? Aku hanya tidak ingin bertahan pada hal yang tidak pasti.

Kalau kalimat yang tadi diucapkan Ibu Nakula adalah kabar terakhir yang ia beri pada ku, maksud ku, bukannya aku dan Ibu Nakula bisa berkomunikasi walaupun jarak yang akan memisahkan aku dan Nakula begitu jauh? Atau, Ibu Nakula sengaja tidak ingin aku mendengar kabar-kabar selanjutnya tentang kondisi Nakula? Segitunya kah? Lalu aku harus apa? Tak mungkin aku disini hanya berdiam diri tanpa mendengar perkembangan kondisi kesehatan Nakula.

Salah ku, ini benar-benar salah ku.

Kalau saja aku tidak...

Arghhh, stop! Stop! STOP!

"Tante..." panggil ku dengan lembut.

"Ya, Nak?"

"Nakula bisa sembuh kan, Tan?" tanya ku khawatir.

Ibu Nakula hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, lalu tangannya dengan lembut membelai kepala ku. "Bisa, Nak. Pasti bisa. Kita usahakan semuanya yang terbaik. Gak ada yang gak mungkin bukan? Kita punya rencana, tapi Tuhan punya takdir."

Aku membalas senyumannya. Benar, kita mungkin hanya memiliki rencana dan terus berencana, tetapi Tuhan punya takdir.

Nakula, mungkin setelah ini, dalam jangka waktu yang panjang, kamu gak bakal bisa lihat aku, aku pun juga. Bukan berarti kita gak akan pernah ketemu lagi, tapi, ini cuma sementara, kok. Kamu disana berjuang sama penyakit kamu, sedangkan aku disini selalu menyertai setiap detak jantung kamu dengan doa ku. Tuhan selalu menyertai kita berdua, Nakula, tapi kamu janji sama aku, ya? Kalau kamu akan kembali suatu saat nanti, entah dengan sosok siapapun itu, intinya kamu harus kembali walaupun Tuhan berkehendak memberi jiwa yang enggan kembali.

Nakula, ucap ku terima kasih untuk terakhir kalinya. Mungkin di masa yang akan datang, jika kita akan dipertemukan kembali, aku akan mengucapkan terima kasih lagi, dan... maaf.

Angkara Ratudala (TERBIT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt