BY ELLIOT

456 44 6
                                    

Lolos keluar rumah sakit nyatanya tak membuat kehidupanku menjadi sedikit menyenangkan.

Sama saja. Tidak bebas pergi, selalu di awasi dan selalu di batasi, main ke taman samping melihat anak-anak bermain pun tak diperbolehkan lama-lama, padahal ibu dan Levo juga sama-sama jarang di rumah dan bisa-bisanya tega mengukungku seperti ini.

Minggu-minggu pertama seperti itu, hanya menurut dan pasrah.

Namun menjelang minggu kedua dan ketiga, sampai sebulan belakangan ini, jadi sedikit berbeda, mungkin karena bosan aku jadi sedikit membangkang dengan memaksa pergi diam-diam beberapa waktu di sekitar taman untuk sekedar menikmati udara segar.

Dan itu selalu kulakukan setiap kali selesai guru Lee datang mengajar.

"Nah selesai."

Potongan Lego terakhir berhasil terpasang, lantas ku serahkan pada seseseorang disebelahku. bukannya ungkapan kata yang keluar, justru dengan senyum lebarnya, anak itu memelukku tanpa aba-aba.

"Terimakasih kak, ini sangat indah. Aku akan memajangnya di tempat aman supaya adikku tidak melihatnya." Ucapnya sambil menggesekkan kepalanya di dadaku.

Aku sedikit meringis saat tak sengaja kepalanya itu menekan selang LVAD-ku, meski tau tak ada maksud menyakiti tapi aku paham dia sedang menunjukkan rasa terimakasih dengan cara seperti ini. setelah puas mengusap punggung kecilnya, perlahan pelukannya kulepas.

"Eh, tidak boleh seperti itu dengan adik sendiri." Kataku.

"Adikku sering menghacurkan mainanku, itulah alasan kami sering bertengkar. Makanya, karena ini barang berharga dari kakak jadi aku harus menjaganya dengan baik supaya tidak rusak ditangannya."

"Baiklah, kalau begitu, jaga baik-baik Lego ini untukku ya? siapa tahu jika suatu saat nanti kita tidak bisa bertemu, Lego ini bisa menggantikan kerinduanmu padaku."

Anak laki-laki bertubuh tinggi yang Bernama Rei ini mengerutkan alis. Dia tetanggaku, kami akhir-akhir sering Bersama duduk di taman.

"Kenapa seperti itu? Jika aku rindu, aku datang saja menemui kakak, kan, rumah kita bersebelahan."

Rei menjawab dengan sangat polos.

"Rei, kau tahu kan aku jarang di rumah?" Rei mengangguk. "Aku juga tidak menjamin berapa lama aku akan di rumah." Jawabku sembari memijat dadaku yang sedikit nyeri. Rei sendiri tahu kondisiku sakit dan selama ini berada di rumah sakit dalam kurun waktu yang lama. Anak itu terlihat panik, namun aku berusaha membuatnya agar tidak terlalu mengkhawatirkan dengan tetap menampilkan senyuman.

"Kenapa seperti itu kak? Kakak akan pergi ke sekolah pesantren ya?"

Lontaran polosnya lagi-lagi membuatku tak habis pikir dengan Rei. Aku tertawa jadinya. "Memangnya setiap orang yang tidak bisa berlama-lama di rumah selalu berakhir ke pesantren?"

Dia mengangguk. "Seperti Bang Jadas depan rumah itu, kak. Kata mama Dia jarang terlihat karena sedang di pesantren."

Bola mataku berputar, sekilas keadaanku memang mirip seperti anak santren tapi dengan konteks yang berbeda jauh. Dalam kukungan itu mereka menuntun agama, sedangkan aku menuntun...hah. Sulit di jelaskan.

Menuntun kematian mungkin.

Aku berusaha mengalihkan topik. "Eh lukamu sudah mengering?"

Rei melirik kakinya yang masih dibalut perban. Bercak merah dari obat yang bercampur luka kini mulai mencoklat.

"Sudah lebih baik, tapi masih perih." Dia tersenyum ke arahku. "Terimakasih ya kak Ell sudah menemaniku setiap sore disini, dengan Lego-lego yang kakak bawa ini. Kukira, aku akan mati bosan karena tidak bisa bermain bola dengan Yoga dan yang lainnya disana." Mata Rei menunjuk depan, tepat pada teman-teman sebayanya yang tengah asik berlarian mengejar bola.

ABANDONNER II KTHWhere stories live. Discover now