Spill From Papa

426 43 34
                                    

Jika orang lain bersikap jahat kepadaku, kenapa aku tidak?

Jika orang lain bisa bersikap tidak adil, kenapa aku tidak bisa?

Jika orang lain bisa bersikap tegas, maka akupun bisa.

Setidaknya tiga prinsip itu yang menjadi keteguhan hati ketika terbesit keraguan dalam diri saat mencoba berbagai cara untuk menyelamatkan nyawa anakku yang begitu berharga. Syukurnya, hingga dititik ini, kerja keras usaha itu membuahkan hasil yang memuaskan.

Anakku akan selamat.

Saat berita itu kudengar, Luapan kebahagiaan tak lagi dapat dibendung, menimbulkan sensasi haru yang mengalirkan air mata lega dari pelupuk mata. Tak pernah sebelumnya ku tunjukkan tangisan ini di depan orang lain, saking bahagianya, untuk pertama kalinya aku menunjukkan itu di depan dokter Brian.

Aku berlari sebisa kakiku melangkah untuk memberitahu kabar yang sejak dulu dinantikan ini pada istri dan anakku. Sudah terbayang pula bagaimana reaksi kebahagian dan haru mereka saat mengetahui Taksa akan menjalani operasi hari ini dan tentunya, hal itu sesuasi ekspetasiku.

Dela tak mampu lagi berkata-kata saat membaca surat yang kubawa, disana tertera tulisan cocok 89% yang menandakan standar organ dapat dilakukan transplantasi. Itu benar-benar nyata, dia menghapus air matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa apa yang dibacanya tidaklah salah. Setelah benar-benar nyata, dia memelukku dan terisak penuh haru, tak lupa menarik Jeha yang mematung untuk membawanya dalam pelukan.

"Tuhan mengabulkan doa kita Dela. Terimakasih. Terimakasih."

Ya, saat ini, kami berpelukan dalam tangisan Bahagia. Kami tak perlu mengkhawatirkan apapun karena fokus kami hanya pada putera sulungku. Menemaninya dalam masa rehabilitasi demi mencapai kehidupan yang Bahagia. Kami akan memulai semuanya dari awal. Begitu sekiranya yang kami rencanakan, karena manusia hanya bisa berencana, sisanya adalah tugas dari Tuhan.

"Taksa kita tidak akan sakit lagi, sayang. Jeha, kakakmu akan selamat."

Dalam pelukanku, kepala Jeha bergesek. Sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh sang mama, anak itu hanya mampu terisak karena tak mampu bersuara saking senangnya.

Tiga detik kemudian..

Bunyi langkah segerombolan perawat terdengar memasuki lorong diikuti bunyi kasar dari troli yang berputar dengan brutal. Merasa penasaran, pada akhirnya tautan pelukan kami terlepas untuk memastikan.

"Apa yang terjadi?" Aku bertanya seraya menghalangi salah satu perawat yang tergesa-gesa itu.

"Pasien mengalami penurunan kesadaran, tuan. Saturasi oksigen juga merunan."

Dalam sekejap aura putih yang menerangi wajah bahagia kami berganti menjadi gelap memenuhi lorong.

Dela berlari kesetanan menyusul langkah perawat, sementara aku menggandeng tangan Jeha yang bergetar ketakutan setelah mendengar kabar mendadak itu. Setelahnya, aku menuntun anakku melangkah, namun dia mengunci pergerakannya dengan kepala yang tertunduk. Isakan kembali terdengar saat perlahan aku sedikit membungkuk mensejajarkan tingginya untuk melihat wajahnya.

Aku mengibas sedikit rambut yang menutupi mata anakku sembari mencoba tersenyum. "Kakakmu akan baik-baik saja, tenang ya?"

Setelah mendapatkan kekuatan dari usapan kepala dan kata-kata penenang, syukurnya perasaan anakku mulai mereda, Jeha mengangkat sedikit kepalanya lalu menatapku dengan senyum. Aku pun ikut tersenyum meski masih dilanda rasa takut dan tidak sabar ingin menghampiri anakku yang satunya, namun aku tidak boleh terburu-buru, sebab, anakku yang satu ini mulai menunjukkan gejala panik setelah mendapat dioagnosa dari dokter beberapa minggu lalu.

ABANDONNER II KTHWhere stories live. Discover now