BY TAKSA

411 46 14
                                    

Dengan berjalan susah payah, akhirnya mampu juga raga ini berpindah tempat di lingkungan yang lebih segar. Suara kicauan burung, guguran daun yang berjatuhan, hembusan udara hangat tepat saat sang surya sedang menampakkan wajah senja nya. Merasakan kenikmatan Tuhan yang seperti ini, akhir-akhir ini sudah jarang kutemui. 

Semuanya seperti direnggut dan ditenggelamkan secara paksa oleh sesuatu yang jahat dalam tubuhku. Semakin hari, rasa sakit itu semakin terasa menyakitkan dan menyiksa setiap detik.

"Kita harus kembali sebelum mama datang, kak." Jeha menyampirkan selimbut ke bahuku. Agaknya anak itu masih kesal lantaran takut diomeli mama karena membawaku ke luar kamar.

"Iya, aku tidak akan lama duduk disini, kau tenang saja."

Tak mau berdebat akhirnya Jeha ikut terduduk di sebelahku. Anak itu menarik nafas panjang dengan mata terpejam untuk merasakan hangatnya udara sore hari.

"Aku ingin waktu berhenti seperti ini, kak. Dimana hanya ada kebahagiaan antara keluarga kita. Aku senang akhirnya kita seperti keluarga lainnya, Appa dan mama sering mengajak kita makan Bersama seperti yang kita lakukan akhir-akhir ini." Jeha menangkup tanganku dan membawanya ke dada.

"Berjanji lah padaku, kakak akan baik-baik saja setelah operasi."

Aku mengerti Jeha begitu takut dengan perkataan dokter tentang operasi trasnplantasi yang rumit itu bisa aja merenggut nyawa ini kapan saja. Namun sadar kah dia, ini adalah ucapan kesekian yang ku dengar sejak pagi tadi. Jeha begitu cemas, begitu pula dengan mama dan papa yang selalu khawatir meski melihatku hanya terbatuk kecil.

Genggaman itu kulepas untuk menyentil kening Jeha agar anak itu meringis. Kalau tidak dihentikan, acara menikmati syahdu udara bisa-bisa gagal menjadi tangisan memilukkan.

"Je, Aku—"

"Kau sendiri, apa kau tidak mencemaskanku?!" Suara yang datang tiba-tiba itu membuatku sedikit tersentak.

Aku menoleh ke berbagai arah untuk memastikan sekali lagi jika suara itu tidak ada.

"Ada apa kak?"

"Je, apa kau mendengar ada yang berbicara barusan?"

Aku masih clingak clinguk tanpa memperhatikan Jeha yang kebingungan.

"Je, apa kau juga mendengar—" Badanku diputar paksa lalu tubuhku dijatuhkan ke rumput. Dia menindihku dan memukuli dadaku secara brutal.

"Apa kau tidak memikirkan ku, TAKSA!!" Dia terus memukuliku, meninju berbagai tubuhku hingga mencekik leherku.

"Ackk!!... Hentikan! Shhh, Sakit." Aku meringis dan menutup mata, melindungi wajah agar terhindar pukulannya. "Elliot!! Hentikan!"

"Aku tidak akan berhenti, kau harus merasakan rasa sakit yang selama ini aku rasakan." Pukulan demi pukulan terus menghujam seiring dengan nafasnya yang memburu.

Elliot murka, ntah dari mana, dia tiba-tiba datang dan memukuliku seperti ini. Seharusnya dia berada di ICCU, dia sekarat. Ini mimpi. Ini hanya mimpi. Tapi rasa sakit ini terasa sangat nyata, aku kesusahan bernafas. Dadaku sakit..

Lama-lama pukulan itu melemah, berganti dengan suara tangis yang memilukan hati.

Aku menurunkan tangan dari wajah dan mendapati pemandangan Elliot yang telah bersimpuh di hadapanku dengan tangisan itu.

"Bukankah ini sangat keterlaluan, Sa?" Dalam kepala tertunduk itu, Elliot berucap lirih. Nafasnya tersenggal-senggal dengan piyama rumah sakit yang terlihat sangat kusut.

"Bukankah kalian begitu kejam padaku?!!!"

Tidak, ini tidak benar. Elliot tidak seperti ini. "Kau, siapa? Kau bukan Elliot, Kau seharusnya di dalam sana."

ABANDONNER II KTHWhere stories live. Discover now