BY ELLIOT

421 50 9
                                    

"Bila waktunya telah tiba, aku harap kau tidak menangis saat pemakamanku berlangsung."  dibawah rembulan, aku bersuara lirih disamping Gallen.

"Kenapa tidak boleh?" Sahutnya dalam pejam.

"Karena aku tidak ingin kepergianku menjadi beban. Aku ingin kalian merelakanku untuk Bahagia."

"Omong kosong. Aku tidak ingin dengar lagi, kau pasti sehat, sebantar lagi akan ada donor untukmu."

Gallen memalingkan wajah seraya bangkit dari ranjang.

"Gallen, berjanjilah padaku kau akan menjaga ibuku saat tua nanti."

"Tidak mau, itu ibumu, bukan ibuku, itu tugasmu menjaganya, jangan suruh orang lain."

"Tapi aku tidak bisa. Kau tahu sendiri jika umurku tidak akan sampai usia dua puluh tahun."

"Sok tahu, Kematian tidak ditentukan oleh manusia Elliot. Kau tidak akan tahu siapa yang akan mati lebih dulu."

"Gallen, Anakku."

Suara tangisan mama bertubrukan keras dengan suara-suara ingatan Gallen dalam isi kepala saat ini bahkan sejak kemarin, ntah berbagai macam ingatan yang dulu terjadi muncul tiada henti seperti kaset yang rusak.

Berapa kali pun kepala ini terus menyangkal bahwa apa yang kulihat ini adalah mimpi, nyatanya tak berubah kenyataan bahwa kedua sosok yang kini nampak tersenyum dengan setelan tuxedo itu telah tertutup rapat dalam peti mati yang sudah mencapai dasar liang lahat.

Secara bersamaan pula mereka diturunkan dengan posisi yang bersebelahan kiri kanan dengan makam papa yang paling ujung kanan. Cih, menyebalkan, padahal aku pernah berpesan pada mereka jika aku mati, aku ingin di kubur dekat dengan makam papa.

Dunia sangat lucu, kenapa sekarang malah mereka yang mendahuluiku?

Juga.

Lihatlah Vo, aku menuruti keinginanmu untuk memakai pakaian hitam yang kau katakan pagi kemarin. Inikan yang kau mau? Curang, padahal aku duluan yang menginginkan jika mati kalian harus pakai baju hitam yang sama, sedangkan aku pakai tuxedo. Tapi sekarang justru berkebalikan.

Sial, Kenapa harus aku yang harus menyaksikan pemakaman kalian? Bukankah seharusnya kalian yang melihat pemakamanku? Kenapa semua nasib berbalik padaku? Kenapa bukan aku saja yang ada di peti mati itu? dan kenapa selalu menjadi akhir dari pikiran ini. Tiada akhir dari kata kenapa atas apa yang terjadi saat ini.

Ibu membungkuk, mensejajarkan tubuh padaku yang terduduk di kursi roda. "Ayo, berikan pada abang dan kakak." Dia tersenyum sejenak sembari mengapus air matanya lalu memberiku dua tangkai bunga Lily putih untuk dilempar sebelum mereka benar-benar menimbun peti Levo dan Gallen.

Aku menatap Lily putih yang ku genggam ini. Lily Stargezer lambang dari kesucian dan simpati.

Aku mengepalkan tangkainya seraya berdoa.

Selamat berpulang ke rumah Tuhan wahai dua saudaraku, jadilah tinggallah Bahagia disi-Nya, jika telah waktunya tiba, tolong jemput aku dalam keadaan baik tanpa rasa sakit. Juga aku memohon berilah sebuah tanda jika kalian hendak menjemputku agar aku bisa mengucapkan salam perpisahan pada mereka yang menyayangiku, tidak seperti kalian yang pergi tanpa mengucapkan kata pamit.

Diam-diam aku mencoba menahan rasa sakit yang menghujam dengan meremas tangan di atas paha, memejam berkali sembari meraup udara guna menetralkan sesak agar tidak berujung tumbang, tidak boleh, jika aku tumbang, ini akan jadi yang kelima kali dan aku tak mau kalah. Aku menggeleng pelan, menepis kegelapan yang semakin menyapa, aku harus kuat karena Aku telah berjanji akan bertahan.

ABANDONNER II KTHUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum