BY ELLIOT

555 54 16
                                    

"Kak Demi marah ya, Len?"

"Jelas lah, dia marah karenamu."

"Begitu saja marah."

"Ya jelas marah, kau menambah pekerjaan kak Demi. Dia pasti mendapat hukuman gara-gara ulahmu. Setelah ini kau harus minta maaf padanya. YA!"

Aku mengangguk; mengakui kesalahan. Ya mau bagaimana lagi, aku hanya ingin bertemu Taksa dan tidak menyangka keasikan bermain disana.

Jadi ingat beberapa menit yang lalu saat kak Demi datang ke kamar Taksa dengan tangan di pinggang. Perawat itu marah karena aku yang tak kunjung ke kamar lantaran sedikit melimpir ke kamar depan; kamar Taksa ditengah kegiatan terapi jalan yang kulakukan hari ini. kak Demi menyusulku dan menyeretku paksa kembali ke kamar. Hehe...

Sebenarnya aku masih ada di jam terapi fisik, namun ada hal menarik yang bisa kulakukan agar terapi kali ini tidak terasa monoton; pikirku, mencetuskan ide agar terapi yang biasanya dilakukan di dalam kamar; yang berupa hanya jalan beberapa Langkah sekitaran kamar; kini menjadi keluar kamar, dan tujuan akhirnya mendarat di kamar Taksa. Sebenarnya itu hanya sebuah alasan supaya bisa melihat anak itu, memastikan bagaimana keadaanya setelah beberapa lama tak bertemu.

Sebenarnya Gallen dan Levo itu tau hanya akal-akalanku saja, tapi setelah aku meyakinkan mereka dengan segudang cara, pada akhirnya mereka setuju dan jadi ikut terjerumus dalam permainan Uno yang seru.

Aku berjalan tertatih di bantu Gallen dan Levo, keduanya berada disisiku kanan kiri memegang kedua tanganku menuju kamar Taksa. sedangkan sisi tangan mereka yang lain juga repot megang tiang infus dan mesin-mesin yang masih terhubung di tubuhku. Meski sebentar tapi cukup menguras tenaga, rasa kakiku sangat kaku dan sedikit kebas Langkah demi Langkah. Awalnya mereka memaksaku berhenti dan kembali ke kamar, namun aku tetap bersikukuh.

Sampai disana, aku menemukan Taksa yang tertidur pulas dengan sebuah infus di punggung tangan yang tertutup selimut sebatas dada. Awalnya aku sempat ingin mengumpat lagi ketika melihat Taksa yang lagi-lagi sendirian ditengah badan lemas seperti itu, bagaimana saat dia bangun kemudian butuh minum, pergi ke toilet, dan makan; dia harus ada yang mendampingi. Kalau tidak, dia bisa pingsan karena tidak ada yang membantunya berdiri.

Pantas saja Levo semarah itu pada Yanan-Yanan itu karena tak becus menjaga Taksa dengan baik, namun pikiran negatifku sedikit luntur saat melihat seseorang menegakkan tubuh dari posisi tertelungkup.

Pada awalnya aku tidak melihat sosok itu karena dia duduk di posisi yang tertutupi tubuh Taksa dari arah pintu. Setelah ku perhatikan dengan seksama, orang yang berada disisi Taksa itu adalah anak yang beberapa waktu lalu masuk ke kamarku dengan wajah arogannya. Kalau tidak salah, dia adik Taksa kan? Mmh kalau tidak salah waktu itu namanya Jeha.

Kami berencana masuk seperti biasa, menyapa dengan sopan pada anak itu, namun karena hal yang di lakukan Jeha membuat kami jadi diam terpaku menyaksikan. Anak itu sibuk mengerjakan sesuatu di sisi ranjang Taksa sambil berceloteh seolah-olah mengobrol dengan Taksa. Sesekali dia akan menoleh dan tersenyum pada Taksa yang terpejam, kemudian melanjutkan lagi kesibukannya.

Sebenarnya bukan tingkah randomnya yang membuat kami terpaku, tetapi ucapan anak itu yang membuat kami tak bisa tidak diam untuk terus mendengarkan kalimat demi kalimat yang di lontarkan pemuda itu.

Jeha bilang, dia selalu ingin meraskan bermain dengan Taksa, ingin diajarkan bermain Taekwondo karena Jeha begitu mengagumi kakaknya itu, Dia bahkan selalu membanggakan kakaknya pada teman-teman sekolahnya dengan ucapan penuh semangat, namun setelah itu ekpresinya berubah sedih dan tak lama anak itu menangis. Jeha takut kehilangan Taksa, dan yang membuat mataku ikut perih karena perkataan anak itu adalah, dia ingin memberikan apapun yang bisa di berikan asalkan Taksa sembuh, karena bagi Jeha, Taksa adalah kakak yang paling dia sayang.

ABANDONNER II KTHUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum