34. So Long And Good Night [END]

9.9K 305 103
                                    

Aku menatap secarik post-it yang sudah menempel di pahaku selama tiga puluh menit:

Havendish Lodge. 123 Thicket Dr.

Kami sudah semakin dekat dengan titik merah di GPS.

"Belok kiri," perintahku.

Jalan raya tempat kami berkendara sepi. Serangga mati dan dedaunan yang meranggas mengotori kaca depan mobil Tobias. Entah sudah berapa kali cowok itu menyemprotkan air, lalu mengaktifkan wiper untuk membasuh pergi serangga-serangga itu. Aku mengerjap pelan. Pepohonan di sekeliling kami menipis; gradasi oranye yang berangsur-angsur ditelan langit biru dan laut lepas. Thicket Drive. Lima ratus meter ke utara, jalanan menurun dan bercabang, salah satunya mengarah ke Havendish Lodge.

Tempat Faux tinggal selama tiga minggu ini.

Selama beberapa lama, mataku terpejam. Membayangkan apa saja yang akan kukatakan pada Faux saat aku masuk: Aku kangen kamu. Semuanya baik-baik saja? Apa ada kemungkinan kita bakal bertemu lagi? Pertanyaan-pertanyaan hilir-mudik di dalam kepalaku seperti segerombolan ikan sarden. Begitu aku membuka mata, mobil Tobias sudah memasuki pelataran parkir Havendish Lodge, sebuah bangunan dua tingkat berdinding batu. Luasnya hampir seperti rumah Faux sendiri, dengan air mancur megah, driveway melingkar, dan pepohonan gersang. Mobil-mobil van terparkir secara paralel di bagian depan gedung, menyisakan satu petak yang segera diisi oleh Tobias.

Havendish Lodge by Leyndell Foundation, aku membaca papan penanda kayu yang dipelitur dengan cat emas. Recovery and rehabilitation center.

"Tick tock," kata Tobias. "The clock is ticking. Penerbangan kita lima jam lagi."

Aku menelan.

Lima jam lagi.

Aku cuma punya waktu lima jam, dan mungkin kurang dari itu, sebelum benar-benar meninggalkan Basalt dan Faux.

"Yakin mereka nerima tamu?" tanyaku, menggigit bibir.

"Makanya kita ke sini siang-siang," kata Tobias, lalu melepaskan sabuk pengamanku. "Visiting hour-nya sampai jam tiga. Mereka update secara real-time di website. No worries."

Paling tidak, keterangan Tobias memberiku keyakinan kalau mereka adalah lembaga yang bertanggung jawab. Faux bakal baik-baik saja. Tempat ini tidak seperti yang kuperkirakan. Dari luar, bangunannya mirip hotel. Udara cenderung lebih sejuk di atas sini. Mungkin karena aku terbiasa dengan pantai. Meskipun saat aku pulang barangkali tidak akan ada cuaca seperti itu. Di tempat asalku, pantai-pantainya sepuluh kali lipat lebih panas.

Staf yang bertugas di resepsionis tersenyum ramah saat kami masuk. Dia mengucapkan beberapa patah kata pada Tobias, tapi aku tidak memperhatikan karena bagian dalam kabin ini betul-betul luar biasa. Semuanya terlihat bersih. Jika plangnya dicabut, aku pasti mengira tempat ini semacam spa bintang lima. Aku nggak salah, kok. Dari riset kecil-kecilan yang kulakukan di internet, lodge ini memang punya spa sebagai salah satu fasilitasnya. Satu-satunya sumber kekhawatiranku karena aku tidak kepengin ada cewek lain yang memijit Faux selain aku.

Aku sedang memperhatikan sebuah drink station mini di dekat guest lounge saat pundakku ditepuk.

"Lantai dua," kata Tobias.

Aku menatap staf dengan seragam terapis itu, yang sedang tersenyum maklum padaku.

Jangan bilang dia tahu.

Oh. Persetan. Saat ini, yang terpenting adalah Faux. Masa bodoh jika staf itu tahu aku ada sangkut-pautnya dengan alasan Faux pergi ke tempat ini.

"Ayo, Kak," katanya, tersenyum.

Saints & SinnersWhere stories live. Discover now