15. All Hands on Deck

7.6K 401 9
                                    

Mungkin malam itu berakhir dengan panas di kamar Faux, tapi segalanya terasa salah ketika aku berpakaian dan Faux memandang langit-langit, sebagian tubuh terbungkus selimut. Ciuman Faux terasa dingin, sentuhannya tergesa-gesa dan napasnya terdengar seperti rintihan. Usai berpakaian, aku naik ke tempat tidur dan merapat padanya. Faux mengecup puncak kepalaku, menarik selimut, kemudian berbisik, "Tidur, Axelle."

Aku memeram, sedih dan lelah, lalu tertidur begitu saja.

Aku tidak tahu jam berapa Faux terlelap.

Aku terbangun dengan puluhan panggilan tidak terjawab di ponselku.

Aku panik, pikiranku terbagi antara ingin menelepon Tobias atau mencari Faux yang hilang dari sisi ranjang. Untungnya tidak berapa lama kemudian Faux muncul dari kamar mandi, tersenyum sambil melonggarkan handuknya malu-malu dan membuka pintu yang menghubungkan ruangan ini dengan lemari Faux, alias ruangan lain yang menyimpan seluruh pakaian, sepatu, dan luaran milik cowok itu. "Breakfast is ready," kata Faux sebelum dia berpakaian. "Aku pakai baju dulu."

Pelan sekali, aku mengangguk, lalu memanggil nomor Tobias sambil berdebar-debar.

Tobias membalas dalam lima detik, "Axelle!" Dapat kurasakan sekujur tubuhku dingin saat mendengar ketakutan di dalam suaranya. "Kamu di mana?"

"Aku ... di ..." Tidak. Tidak sekarang. "Aku di ..." Pikirkan sesuatu, Axelle. "Aku di hotel." Bagus. Sekarang hotel apa? "Aku di hotel," aku menegaskan sekali lagi.

"Di hotel?" Tobias kedengaran lega sekaligus curiga. "Kamu nggak apa-apa? Kamu masih di pesta Sean kemarin waktu polisi datang?"

"Aku di luar." Kebohongan mengalir begitu saja dari mulutku. "Aku kabur. Langsung ke hotel. Aku dengar sirene." Aku masih memakai gaunku. Faux telah menyiapkan pakaian bersih, kaus dan sepasang training longgar yang berbau sepertinya, tapi aku memilih untuk tidur dengan gaunku; tanpa dalaman. Tapi kami sudah terlalu capek untuk kembali bermesraan, jadi aku hanya membiarkan tangan Faux di dada dan perutku, kemudian tertidur pulas dan terbangun karena telepon kesebelas dari Tobias.

"Oh, oke." Nada Tobias kedengaran masam. Itu nada yang sama dengan yang dia gunakan ketika aku bilang kami lebih baik putus saja. Aku memejam rapat-rapat. Aku pernah menyesali keputusan itu dan hari ini aku menyesalinya sekali lagi. Jika saja tidak pernah ada aku dan Tobias, tidak pernah ada Basalt, tidak pernah ada pesta itu; mungkin aku tinggal menunggu kelulusan saja. "Kamu di hotel mana? Perlu kujemput?"

"Nggak usah," ujarku. "Aku baru bangun. Sebentar lagi langsung pulang."

Tobias dan aku mengobrol sebentar soal beberapa hal, kecuali Faux, cewek di balkon, dan detail persis lokasiku saat ini. Faux keluar tidak lama kemudian, menutup pintu dengan hati-hati seolah dia cuma menumpang di sini. Dibandingkan semalam, Faux jelas mendingan. Tidur empat jam berhasil mengurangi lingkaran kehitaman di bawah matanya, dan rambutnya sudah tidak kelihatan terlalu pucat lagi. "Aku tutup dulu teleponnya," kata Tobias setelah Faux selesai menyemprotkan parfum dari ujung kepala hingga kaki. Yang, omong-omong, merupakan pemandangan baru untukku. Aku tidak pernah tahu parfum yang digunakan Faux, tapi baunya selalu enak. Bau parfum Faux cenderung lembut dan menyatu dengan ruangan, jadi aku berasumsi bau manis seperti susu di pakaiannya berasal dari campuran parfum, keringat, dan rokok yang dia hisap.

"Udah dicariin ya?" Faux berusaha melenyapkan ekspresi bersalah di wajahnya dan menutupi itu dengan cengiran lebar.

"Nggak." Aku menyibak selimut dan berdiri dengan sempoyongan untuk mandi. "Dia lebih cemas soal semalam. Katanya ada yang bawa ganja ke pesta Sean."

Saints & SinnersHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin