31. My Christmas Miracle

3.4K 258 55
                                    

Vote? Huehehe. (  ͡° ͜ʖ ͡°)
Happy reading. (:

Sudah hampir dua belas jam sejak Faux pergi dari apartemenku, tapi cowok itu tidak meninggalkan pesan sama sekali.

Belum cukup buruk, aku menerima follow request dari Mycah di Instagram, dan sesaat setelah kuterima permintaannya, cowok itu membanjiri direct message-ku dengan pertanyaan tentang Faux. Menurut Mycah, cowok itu sudah tidak melihat Faux sejak kemarin, dan tidak ada satu pun pesannya yang dibalas oleh pacarku. Kukatakan Faux baru saja pergi dari apartemenku beberapa jam yang lalu, dan, sama seperti Mycah, aku belum menerima pesan apa-apa. Mycah mengucapkan terima kasih, setengah ikhlas, lalu pergi offline.

Sore itu, selesai mandi dan berpakaian, aku duduk di atas ranjang, ponsel menghadap langit-langit. Pesan terakhir Faux adalah saat cowok itu baru selesai basket di By the Beach, kira-kira dua puluh empat jam yang lalu. Aku terlalu sibuk mengisi formulir pendaftaran lomba dan mengutak-atik draf komikku, meng-convert file, lalu men-submit semuanya ke situs yang telah disediakan pihak penyelenggara; padahal biasanya aku selalu nomor satu saat mendengar notifikasi dari Faux. Sekarang aku berpikir dua kali sebelum mengirimkan SMS bernada khawatir karena beberapa jam terakhir tidak berjalan baik untukku dan Faux.

Babe, udh sampe?

Kutatap pesan itu selama beberapa lama, lalu cepat-cepat kuhapus lagi.

Are u OK?

Mendesah, aku menghapus semuanya, lalu menelungkup di atas pangkuan.

Menyebalkan. Padahal Faux pacarku sendiri. Aku berguling, merebah di atas bantal sambil memeluk guling. Bau keringat Faux. Bau yang menyenangkan. Jenis yang membuatku tidak ingin mencucinya sampai bau itu hilang. Kulirik ponselku, lalu dengan cepat aku menyambar benda itu dan menulis sebaris pesan. Kali ini, aku tidak berpikir sama sekali saat menekan kirim.

Lalu, aku menunggu.

Aku menunggu, menunggu, dan menunggu.

Namun, hingga jam menunjukkan tengah malam, tidak ada balasan yang datang.

Aku ingat terakhir kali aku tidak berdandan dan keluar dengan kantung mata.

Aku tidak akan bisa sembuh dari ingatan itu. Semua makanan favoritku terasa hambar. Paru-paruku berdengih. Sendi-sendiku berderak setiap kali aku berdiri. Saat aku terbangun dari tidur, hal pertama yang kulakukan adalah melihat refleksi diriku di cermin dan menangis. Kupikir tidak ada gunanya aku berdandan karena, toh, semuanya sudah berakhir. Tidak ada tatapan redup James saat cowok itu membisikkan cantik sambil merapikan anak-anak rambutku. Tidak ada rintihan napasnya saat dia menghirup aroma cologne di kerah seragamku. Tidak ada kecupan lembut yang cowok itu berikan setiap kali aku memoleskan lip balm stroberi di bibirku.

Kesimpulannya: tidak ada James.

Dan sekarang, hal yang sama terulang. Aku terbangun pada nol notifikasi di ponselku. Faux menghilang. Seolah yang terjadi di antara kami semuanya hanya mimpi. Sarapanku terasa asin karena air mata. Aku menangis sampai mataku bengkak dan wajahku panas. Aku men-dial nomor Faux berkali-kali, tapi semua panggilanku dialihkan. Ini terlalu mirip dengan apa yang terjadi padaku dan James. Aku tidak bisa mengalaminya lagi. Faux sudah berjanji. Faux tidak bisa tidak menepatinya.

Hari-hari berjalan seperti siksaan. Pada hari ketiga, aku sudah tidak tahan lagi dan akhirnya pergi ke apartemen Tobias. Saat pintu apartemen terbuka, aku menghambur masuk, lalu menangis sejadi-jadinya. Tobias, dengan kaus polo putih dan celana pendek, melangkah mundur seperti matador sehabis membiarkan banteng menembus sehelai kain merah. Aku menyurukkan wajahku pada bantal-bantal yang bertumpukan di sofa, lalu kurasakan sofa di sebelahku berkeriut.

Saints & SinnersWhere stories live. Discover now