04. Saints & Sinners

12.7K 688 7
                                    

Burning on

Just like the match you strike to incinerate the lives of everyone you know

Cuma ada total lima orang di Basalt yang tahu Tobias dan aku pernah pacaran:

1)      Tobias,
2)      Aku,
3)      Faux,

Dan dua orang lain yang sepertinya sudah hilang ditelan bumi.

Kami putus tiga bulan setelah pindah ke kota ini. Penghujung Oktober, tiga tahun lalu. Yeah. Good times. Tobias tolol, dan aku ingin balas dendam pada cowok itu. Jadi, aku melihat peluang saat Faux, cowok dari fakultas Hukum yang juga sekelompok denganku saat masa orientasi, memberiku undangan ke pestanya, The Ultimate House Party, yang bertempat di mansion cowok itu. Jika Tobias bisa menyelinap pergi malam-malam tanpaku, kenapa aku tidak?

Bersama Thea, temanku dari fakultas Ekonomi, aku pergi ke pesta Faux secara diam-diam. Rumah Faux benar-benar besar, dan saat kubilang besar, itu artinya sebuah rumah raksasa dengan driveway, lobi, carport, dan halaman belakang yang dapat mencakup lebih-kurang dua lusin anak dari setiap fakultas. Satu jam setelah masuk, Thea dan aku sudah terpencar seperti regu pencarian. Thea bersama seorang cowok dari fakultas Teknik, dan aku di dapur, makan kue dan mencicipi koktail super-enak rasa stroberi. Sendirian.

Sebetulnya, aku tidak begitu suka menceritakan bagaimana malam itu berakhir. Berkat cowok kecengan Thea yang ternyata juga dari jurusan geologi (fuck you), Tobias akhirnya tahu malam itu aku tidak tinggal di apartemen dan menyusulku ke mansion Faux. Aku bahkan belum melihat Faux dan menyapa cowok itu—setidaknya, aku harus minta maaf karena sudah menghabiskan kue dan koktail stroberinya—tapi Tobias sudah menyeretku keluar.

"Lepas!" jeritku. "Lepasin aku!"      

Aku memberontak dan merengek seperti kesetanan saat Tobias membopongku dan mengunciku di dalam mobil. Tanpa perasaan bersalah sama sekali, cowok itu menyalakan mesin dan menyetir mundur, lalu tiba-tiba saja aku sudah berada di luar jangkauan mansion Faux.

"Kamu curang!" aku melolong.

Jawaban Tobias membuat urat-urat di pelipisku nyaris meledak:

"Kamu harus tahu cowok seperti apa itu Faux."

Aku benar-benar murka, aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan untuk membuat cowok itu sadar kalau aku cuma menuntut keadilan dari acara street ball sialan yang kulewatkan itu. Aku bukan anak kecil lagi, demi Tuhan. Aku bisa saja nonton street ball malam-malam dan paginya tetap pergi ke kampus seperti biasa.

Akhirnya, ultimatum itu pun keluar:

"Ya udah." Aku melipat lenganku. "Kita putus aja."

Aku menyumpah dengan lantang saat Tobias menginjak rem keras-keras dan ban mobil mendecit berhenti.

Klakson bersahut-sahutan dari kendaraan yang terjebak di belakang kami, menuntut untuk diberikan celah.

Setelah menepikan mobil, Tobias memuntir tubuh dan menatapku seolah aku baru saja menumbuhkan sebuah kepala baru.

"Nggak lucu," kata cowok itu. Hidungnya berkerut-kerut.

Aku mendelik sebal. "Memang nggak."

Aku tahu aku sudah membuat pilihan keliru saat Tobias kembali menjalankan mobil, lalu menyetir dalam hening. Tentu saja, aku tidak serius ingin putus dengan Tobias. Aku sangat menyukainya. Setelah lulus SMA, dan terlibat dalam diskusi penuh cinta yang panas, kami sepakat untuk bersama-sama pindah ke Basalt; menyewa apartemen di gedung yang sama, saling merawat ketika sakit, dan bertemu dua puluh empat jam seminggu.

Saints & SinnersWhere stories live. Discover now