01. Killing Streak

19.6K 994 18
                                    

It was awesome, but we lost it

2015.

"Again? Another flawless shot coming from Daniel Desjardins! Rockingdown! Will they take this to the next match? Or ... not ..."

Bau garam laut. Keringat. Keputusasaan.

Tempat ini persis pasar ikan.

Daniel, bintang yang bersinar paling terang di lapangan malam ini, terengah-engah di atas kedua lututnya. Di bawah pantulan lampu sorot, keringat cowok itu menetes-netes, membasahi lantai lapangan dan tungkainya yang kecokelatan. Keringat fenomenal yang secara harfiah ingin dicicipi oleh lebih dari dua lusin cewek yang mengapitku. Keadaan di tribun, kuputuskan, lebih menyedihkan daripada apa yang terjadi pada lawan Daniel di lapangan.

Crushed. Blasted. Deteroriated.

Mereka sudah ditakdirkan untuk kalah.

Aku menguap.

Sebetulnya, aku juga tidak tahu kenapa aku di sini. Malam-malam. Cuma dengan celana pendek dan sehelai tank top tipis. Menonton pertandingan basket annual Rockingdown sambil meneguk segelas latté panas seharga satu pint es krim stroberi.

Daniel menengadah.

Oke. Well. Mungkin aku sudah nggak sengaja main mata dengan cowok ini. Tapi, sumpah, semuanya terjadi begitu saja. Cowok ini sama sekali bukan tipeku. Cuma, Daniel ganteng. Dan, cowok itu tampak seperti akan merobek pakaianku setelah menyelesaikan urusannya di lapangan.

Yang, kira-kira, akan berakhir dalam ... tiga, dua, satu ...

Buzzer berbunyi.

Instinct, klub Daniel, menang 13-2 atas lawan mereka, Sayan Warriors.

Satu alisku terangkat. Congratulations?

Daniel mengerling, lalu tersenyum ramah pada panitia yang dengan cekatan menyuplai berbotol-botol air mineral pada pemain-pemain Instinct dan Warriors.

Agak bikin mual, kalau boleh jujur, tapi aku sedang mengincar sesuatu.

Sesuatu yang telah menunggu Daniel di final besok.

Cowok itu dengan mudah membelah kerumunan, menyapa satu per satu temannya yang datang dan menonton dari tribun, lalu terdengar diskusi bernada khawatir dari cowok-cowok, dengan kekhidmatan setara Confucius, memperbincangkan siapa tim yang bakal menjadi lawan Daniel besok.

Aku mendengus sinis.

Ucapkan selamat tinggal pada gelar juara, Instinct.

Mimpi buruk, yang sangat buruk, menantimu di final.

Akhirnya, Daniel menjemputku di tribun.

"Lama?" Daniel berjongkok di sebelahku. Kukeluarkan handuk bersih dari tas, lalu kuberikan pada cowok itu. Sok jual mahal. Padahal aku terang-terangan meneteskan liur saat memandang lengan-lengan kekar Daniel yang banjir keringat.

Di masa lalu, aku pernah menggigit lengan pacar atletku selesai pacarku itu latihan, tapi rasanya asin bukan main. Aku memikirkan ulang keputusanku, meskipun aku tetap menganggap pacarku itu seksi minta ampun.

Sayang sekali, kami sudah putus.

"Thanks," ucap Daniel, lalu mengelap belakang leher dan wajahnya.

"Capek?" tanyaku.

Daniel menghela napas, lalu tertawa. Respons Daniel sudah menjelaskan semuanya.

"Besok lawan siapa?" tanyaku lagi, pura-pura buta dan tuli, padahal poster final sudah ditayangkan, dan semua orang sibuk memotret jagoan masing-masing.

"Harley," jawab Daniel, mengedik. "Nggak tahu, deh, bakal menang atau nggak."

Ini adalah momen langka di saat Daniel Desjardins skeptis terhadap dirinya sendiri. Cowok itu sangat percaya diri. Baik soal cewek maupun kemampuannya di lapangan. Well, sebenarnya ada satu lagi: kemampuannya di ranjang. Tapi itu cuma di antara Daniel dan cewek-cewek yang pernah dia tiduri. Aku angkat tangan. Daniel dan aku baru saja bertemu kemarin. Saat cowok itu sedang bersantai di ruang ganti pemain, dan kami secara tidak sengaja menjalin kontak mata—aku adalah agen rahasia yang mengutus diriku sendiri. Sepertinya Daniel langsung menyukaiku detik itu juga. Jatuh cinta nyaris mustahil untuk kaum seperti Daniel. Cuma ada tiga hal di dalam kepala kecilnya: basket, cewek, dan seks.

Daniel melihatku seperti subjek yang sempurna untuk dua hal terakhir.

"Mereka nggak jago-jago banget," aku membual. "Kayak mereka setara pemain NBA aja."

Kenyataannya, tim yang kubilang nggak jago-jago banget itu sudah winstreak dan tinggal menunggu kehancuran Instinct di final.

Tepat saat Daniel hendak merespons argumen tololku, terdengar suara berisik cowok-cowok dari arah ruang ganti pemain. Jam operasional Rockingdown sudah berakhir sejak satu jam yang lalu, tapi ada kompensasi karena By the Beach—lapangan basket pinggir-pantai yang merupakan komoditas Rockingdown—dijadikan venue.

Cowok-cowok, puluhan jumlahnya, keluar dari ruang ganti; mencangklong ransel, sepatu, dan bergalon-galon air. Ada beberapa yang sudah mandi karena dapat giliran tanding sore, tapi selebihnya terlihat tanpa atasan.

Aku meneguk ludah. Di antara cowok-cowok itu, Daniel termasuk, aku cuma ingin melihat satu cowok.

Dan, cowok itu akhirnya keluar sebagai satu-satunya yang berpakaian lengkap; celana pendek, hoodie, selop putih.

Cowok itu menatapku.

Api berkobar di dalam kedua matanya yang menyala-nyala seperti fosfor.

Harapanku melihat cowok itu setengah-telanjang pupus, tapi saat ini yang lebih penting adalah bagaimana cara untuk tetap bernapas; saat cowok itu melarikan tatapannya padaku dari ujung kepala hingga kaki, membuang napas tajam, lalu memalingkan wajahnya dan mendengus.

Aku ternganga, jelas-jelas syok dari pengalaman tiga-detik yang bisa bikin cewek-cewek seantero Basalt pingsan itu.

Mengernyit, Daniel menatapku. "Kamu kenal dia?"

Bukan kenal lagi, aku membatin.

Mengikuti ketiga rekan setimnya, cowok itu berlalu, tapi sebelumnya dengan sengaja melirik Daniel dan menyeringai.

Dia mantanku.

Centre Harley. MVP Rockingdown League selama dua tahun berturut-turut. Lawan Daniel di final besok.

Dan, tentu saja, yang lengannya pernah kugigit karena gemas melihat cowok itu berkeringat.

Tobias Vandenberg, cowok paling seksi di muka bumi ini.

Yang kedatangannya di Basalt tidak hanya bikin cewek-cewek berfantasi tentangnya, tapi juga mengukir sejarah baru di dalam basket.

Cowok itu masih milikku.

Saints & SinnersWhere stories live. Discover now