24. You Stole The Show

4.2K 283 35
                                    

Vote? Huehehe. ( ͡° ͜ʖ ͡°)

Minggu itu berjalan seperti biasanya, hanya saja tanpa kehadiran Tobias, meskipun pesan-pesannya membombardir kotak masukku tanpa henti; meluruskan kejadian di balkon dan meminta maaf jika memang itu yang membuatku lebih memilih Faux. Tidak. Aku memilih Faux karena aku memilih Faux. Dan karena Faux sangat lembut, perhatian, dan, secara umum, luar biasa. Kasus ditutup.

Faux tidak serius saat mengatakan akan menjadikanku host di pestanya, tapi cowok itu tetap memberiku kebebasan untuk menendang siapapun yang kuinginkan. Tentu saja, orang pertama yang harus dicoret dari daftar adalah Tobias Vandenberg, dan itu membuat Faux tertawa saat aku duduk dengan lengan terlipat. "Jangan tega-tega sama dia, Xel," goda Faux. "Dia peduli sama kamu. Bet he wouldn't do that if he were with another girl."

Aku mendelik. "He WAS with another girl."

"Oh, no, he wasn't." Faux tersenyum masam. "But, sure, if you want to exclude him from the party, the night is all yours."

Kuku-kukuku sudah dipoles dengan cat pink menyala, sesuai dengan warna mini dress yang kukenakan malam ini. Aku menginap supaya tidak perlu naik motor ke rumah Faux/membuat cowok itu menjemputku. Aku tidak ingin ada pertemuan-pertemuan tidak terduga lain dengan Tobias. Serius, aku sudah tidak ingin mendengar apa-apa lagi dari cowok itu. Setelah pertengkaran kami yang berlarut-larut, aku tidur sebentar dan membereskan apartemen, lalu mengirimkan SMS pada Faux; meminta cowok itu menemaniku makan es krim di sekitar By the Beach. Aku menghabiskan dua jam kencan untuk memperhatikan gejala-gejala yang mungkin ada pada Faux, dan—kejutan, kejutan—tidak menemukan apa pun; kecuali bahwa Faux sangat tampan, dan punya mata amber yang sangat serasi dengan rambut cokelatnya.

"Gimana?" tanyaku. Aku berputar di depan Faux, satu tangan memegangi rambut ke atas. Mini dress itu membebat tubuhku tanpa ampun. Hanya saja dalam cara yang bagus. Karena selama ini aku tidak pernah benar-benar menemukan pakaian yang pas di tubuhku. Kecuali jika aku berbelanja di tempat anak-anak. Aku tidak bisa selamanya membeli dress dengan motif kepala kelinci dan sweter Minnie Mouse. Sekali-kali aku juga ingin tampil seksi, jenis yang bikin Faux salah tingkah.

"Again," kata Faux, memutar tanganku seperti sedang melakukan dansa waltz. "Do it for me."

Aku berputar sekali lagi, dan Faux menangkap tubuhku. Cowok itu mengendus leherku, lalu tersenyum tipis sekali. "Gorgeous," bisik Faux. "As always."

Jika lengan-lengan Faux tidak menyangga tubuhku, aku mungkin sudah jatuh dan menjadi genangan cair di lantai.

"Kita nggak lagi di ballroom, Faux," ujarku, menepis lengannya sambil cekikikan. "Kamu terlalu gentleman. Serius deh."

Faux membenahi kerah kemejanya, lalu melirikku dengan sebelah alis terangkat. "Masa?"

Sumpah, aku tidak pernah tahu cowok bisa menjadi seganteng itu hanya dengan kemeja dan jins. Berdeham, aku pura-pura melihat ke arah cermin, memperhatikan kepangan-kepangan kecil yang membingkai wajahku, juga glitter pink yang melekat di tulang pipi dan kelopak mata. Aku tidak melakukan ini sendiri. Staf salon langgananku, yang secara mengejutkan dikelola oleh Mama Faux, datang dan mengotori "kamar"-ku dengan peralatan manikur, koper kecantikan, dan jepit-jepit rambut.

"Cowok bule yang waktu itu mana?" dia menggoda dari balik rambutku.

Aku memutar bola mata lantaran cowok bule yang disebut hanya membuat mood-ku jelek, dan itu tidak bagus karena pesta akan dimulai dalam enam jam. Jadi, aku menggeram pelan sebagai respons dan membalas dengan, "Tidur."

Saints & SinnersOnde histórias criam vida. Descubra agora