02. Three Cheers for Sweet Revenge

14.2K 807 21
                                    

[⚠️]

Hari terakhir turnamen.

Sejak tadi pagi, lapangan sudah disterilkan. Karpet diganti. Baut-baut pada ring dikencangkan. Menurut Daniel, sesi warm up Instinct dan Harley akan dimulai pada pukul lima, yang berarti final akan berlangsung satu jam setelahnya. Aku menghabiskan empat jam total di kamar: mengaplikasikan scrub, masker, mandi, keramas, mengeringkan rambut, berdandan, mengganti nail-art. Bersiap untuk duduk manis di tribun.

Pukul lima tepat, aku sudah duduk di spot favoritku, menyesap black tea latté panas sambil menonton cowok-cowok Instinct dan Harley bergantian memakai lapangan. Instinct mendapat giliran pertama. Dari panitia, Daniel menerima bola, lalu membanting bola itu di atas lantai lapangan. Daniel berputar di luar lengkung, lalu mulai menembak bebas dari setiap sudut. Bola-bola tetap berdatangan seperti meriam, terima kasih pada Kess, sub Instinct yang cuma dimainkan dari menit lima ke atas; bagian dari strategi dan pikiran rumit cowok-cowok.

Setelah Instinct, tibalah giliran Harley.

Sama seperti Instinct, home base Harley juga di By the Beach. Hanya saja, jika Instinct lebih suka main setelah matahari terbenam, Harley adalah kebalikannya. Cowok-cowok Harley cenderung menghindari keramaian. Dua di antara pemain Harley, Robin dan Lexie, sudah lulus tahun lalu, dan sekarang bekerja sebagai videografer dan arsitek di kantor jasa konsultan. Sedangkan Tobias dan Patrick masih di semester akhir kuliah, sama sepertiku.

Tobias memutar-mutar bola di antara tangannya. Sebagai centre, tugas cowok itu secara umum cuma bermain dengan becus di bawah ring, tapi semua orang juga tidak bisa mengelak kalau sejak bergabung dengan Harley, Tobias adalah salah satu penghasil digit paling tinggi. Cowok itu tanda bahaya. Pemblokir kemenangan. Makanya, aku tidak heran saat Daniel berubah murung dan pesimistis. Daniel tahu dia cuma bermain untuk kalah. Aku pura-pura bodoh saja.

Aku menyemburkan latté-ku seperti gargoyle saat Tobias melakukan dunk pertamanya.

Latté menetes-netes dari mulutku.

Cowok-cowok di sekitarku kontan bertukar pandang, terperangah. Terdengar seseorang memperdebatkan apakah dunk semacam itu diizinkan di turnamen. Karena, selama sesaat, ring tampak condong ke depan begitu Tobias menopangkan sebagian bobot tubuhnya pada lengkungan besi.

Aku memutar bola mata, lalu segera mengelap mulutku. Aku tahu cowok macam apa yang berbicara seperti itu.

Yeah. Benar sekali. Cowok yang nggak bisa nge-dunk.

Daniel menyipit ke arah Tobias. Berani taruhan, cowok itu juga bakal nge-dunk di game nanti, jika memungkinkan.

Dalam hitungan menit, tangga sudah terisi penuh oleh penonton. Kebetulan, Daniel dan Tobias sama-sama dari fakultas Teknik. Daniel belajar arsitektur, sementara Tobias belajar geologi. Cowok-cowok berpenampilan mirip tukang kayu dan cewek-cewek emo cantik menempati setiap celah yang memungkinkan. Kelihatannya cuma aku yang datang dengan tank top stroberi dan celana pendek putih.

Mencoba untuk masa bodoh, aku menyesap latté-ku dan menyaksikan matahari yang bergulir turun dengan perlahan, sampai akhirnya benar-benar ditelan oleh samudera.

Aku bergidik senang.

Almost time.

Kemudian, lampu-lampu sorot dinyalakan. Barikade-barikade besi dirapatkan, membatasi wilayah tribun dan lapangan. Musik hip-hop yang mengentak-entak terdengar dari spiker. By the Beach pecah dalam jeritan. Sementara wasit mengundi siapa tim yang mendapatkan bola pertama, Tobias dengan cepat menyensor kerumunan. Begitu matanya menemukanku, cowok itu seketika melengos. Ekspresinya mengeras.

Saints & SinnersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang