30. The Next Day

3.4K 268 18
                                    

Vote? Huehehe. ( ͡° ͜ʖ ͡°)

Aku terbangun dari mimpi buruk dan menemukan Faux sudah tidak ada di tempat tidurku.

Sempoyongan, aku berjalan keluar, lalu melihat Faux sedang merokok di balkon, menatap gemerlap sunyi pagi buta di Basalt.

Cowok itu sadar akan kehadiranku sejak aku menutup pintu, tapi justru menyalakan rokok kedua dan menghisap dalam-dalam. "Hei," katanya saat aku bergabung. Faux menggugurkan abu di atas asbak keramik yang belakangan ini sering kucuci karena pacarku kebetulan perokok, lalu kembali menatap kegelapan di luar apartemen. "Ini baru jam empat," kata Faux lagi, tanpa sedikit pun melihat ke arahku.

"Aku kebangun," aku membalas dengan parau, tidak langsung mengatakan kalau aku baru saja bermimpi buruk soal dia.

"Mau tidur lagi?" Faux bergeser, tidak mendekat, tapi supaya cowok itu punya penglihatan yang lebih jelas. Bahkan ketika aku masih mengantuk dan setengah sadar, aku bisa merasakan jarak yang timbul setelah kejadian semalam. "Aku temenin," Faux menawarkan, tapi entah kenapa tawaran itu terdengar hambar. Saat ini, aku lebih ingin terjaga dan melihat Faux menghisap dan mengembuskan asap rokok. Aku ingin melihat tatapan menerawang cowok itu saat dia memandang kosong sesuatu melewati kegelapan.

"Nggak usah," sahutku.

Faux membuang rokoknya, lalu menyalakan ponsel dan menunggu.

"Mau kubikinin teh?" tanyaku, tidak tahan dengan keheningan yang sangat canggung ini.

Faux menggeleng kecut. "No. Thanks."

Sedih dan marah karena balasan Faux yang itu-itu saja, pertanyaan yang telah kusimpan sejak kedatangan cowok itu semalam akhirnya tumpah, "Apa yang terjadi di kantor Papamu, Faux?"

Dengan sangat pelan, Faux berpegangan pada lengan kursi, memperbaiki posisi duduknya yang agak memelorot, lalu berkata dengan datar, "Nggak terjadi apa-apa." Faux mengatupkan kedua tangan di mulut. "Just my Dad being my Dad," kata Faux, tertawa. "Klasik. Dia marah karena aku resign. Dan sekarang aku punya waktu satu semester buat nentuin mau pindah kuliah ke mana atau bener-bener jadi gelandangan."

"Itu bagus," aku berujar spontan, lalu sadar Faux berhenti karena dia ingin... berhenti. Faux bukan aku yang, seandainya diberi kesempatan, akan dengan senang hati pindah untuk belajar seni. "Maksudku, kamu bisa berpikir sampai benar-benar tahu apa yang bakal kamu lakukan selanjutnya," aku membetulkan. Sumpah. Apa pun yang kuucapkan terasa salah. Rasanya seperti, Faux dan aku tidak lagi berpacaran. Kembali menjadi kenalan yang tidak sengaja bertemu di pertandingan basket.

"Aku lagi mikirin itu," ujar Faux.

Harapan di dalam suara Faux menular padaku. Paling tidak, ini bukan jalan buntu. Meremas pelan tanganku, aku menggeser kursiku lebih dekat pada Faux, berharap cowok itu melakukan sesuatu yang menunjukkan kalau dia Faux. Sentuhan di paha, mencubit pipi—apalah. Keheningan ini membunuhku.

"Oh ya," Faux menepuk meja, lalu memutar tubuh, sehingga sekarang kami berhadap-hadapan. "Apotek di bawah buka jam berapa?"

Harapan itu pupus dalam sekejap.

Aku sangat takut ini akan berakhir sampai-sampai lidahku tidak bisa digerakkan.

"Sekarang aku beliin morning pill," kata Faux, menggulirkan layar ponselnya, mengernyit. "Apa ya merk-nya? Atau langsung tanya aja?"

"Nggak usah," ucapku, refleks.

Lalu, yang selanjutnya kudengar adalah suara detak jantungku sendiri.

Nggak usah? Pikirku. Detak jantungku menggila. Bukannya aku yang menolak Faux semalam? Membuat cowok itu merasa tidak diinginkan dan sebagainya? Kenapa sekarang aku yang panik memperbaiki keadaan? Apakah ini yang dirasakan Faux? Tidak ingin kehilangan aku? Aku juga tidak ingin kehilangan Faux, dan saat aku mulai merasakan tanda-tandanya, aku rela melakukan apa saja. Bahkan menyimpan bayi yang belum tentu ada ini.

Saints & SinnersWhere stories live. Discover now