18. Terus berlanjut

7 2 3
                                    

Di depan televisi yang dibiarkan menyala dengan volume lumayan keras Mei mematung di tempat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Di depan televisi yang dibiarkan menyala dengan volume lumayan keras Mei mematung di tempat. Hanya ada gerakan jempol tangan yang menekan tombol remote secara berulang-ulang. Acara TV silih berganti menampilkan gambar acak dalam hitungan detik. Mei memang tengah menghabiskan sisa malamnya yang terasa panjang dan sunyi dengan menonton TV. Alih-alih asik menonton malah Mei sibuk melamun sambil menatap kosong pemandangan di depannya. Dia telah duduk dalam posisi yang sama sejak lima belas menit lalu.

Semenjak kebusukan papanya soal perselingkuhan itu terkuak suasana rumah benar-benar sepi. Mamanya--Ratna lebih suka mengurung diri di kamar dengan pintu tertutup rapat. Padahal jam baru menunjukkan pukul tujuh malam. Mei menduga kalau mama masih meratapi hancurnya rumah tangga yang telah dibangun selama hampir dua dekade.

Mei bisa memaklumi Ratna yang memang perlu waktu sendiri, sehingga dia tak banyak mengganggu. Sementara itu, papa tak pernah lagi terlihat di rumah, bertukar kabar pun tidak. Mungkin papa merasa malu atau lupa sehingga tidak bisa melakukan apa pun walaupun hanya sekadar berbasa-basi mengucap maaf padanya. Mei tidak tahu di mana sekarang papanya berada. Dia sudah tidak peduli.

Mungkin di tempat istri barunya atau sudah mati ditelan bumi?

Tak selang berapa lama mama keluar kamar. Derit pintu terdengar memenuhi ruangan, tapi Mei belum juga beralih dari acara melamunnya. Menyadari Mei yang terduduk di sofa langsung saja mama mendekat seraya menepuk pundak anaknya pelan.

"Mama?"

Mei menoleh begitu menemukan mama sudah berdiri di sampingnya. Sekilas terlihat senyum mengembang tipis di bibir mama.

"Yuk, makan dulu. Nanti dilanjut lagi nontonnya. Kamu belum makan, kan?"

Cuma gelengan kepala yang Mei tunjukkan. Lalu dia bangkit mengekori mama ke meja makan.

Dengan tenang kedua perempuan itu mulai menyantap makanan. Disela makan mama mengembuskan napas berat kemudian berkata, "Sayang, Mama mau kasih tau kamu sesuatu. Mama udah sepakat sama papa kamu soal rumah. Setelah resmi pisah kita mau jual rumah ini."

Gerakan tangan Mei terhenti ketika menyendok nasi. Sesi makan malamnya kian terasa hambar dan nafsu makan makin hilang. Mei masih diam menatap Ratna yang sama-sama menunggu respon anaknya.

"Iya, Ma. Kalo keputusannya gitu aku bisa apa," lirihnya dengan pikiran ke mana-mana. Jelas sekali rumah itu menyimpan banyak kenangan bagi Mei dari dulu, bahkan semenjak dia terlahir ke dunia sampai sekarang. Namun, kenangan manis-pahit yang sudah dilewati harus berakhir dengan cara tidak menyenangkan.

"Mama tau ini susah buat kamu, Nak. Tapi keadaan kita nggak sama kayak dulu lagi. Mama cuma bisa terus kasih yang terbaik buat Mei. Mama harap kamu ngerti, ya, Sayang?"

"Iya, Ma. Aku juga udah mutusin buat ikut siapa setelah ini selesai."

***

Selama pelajaran berlangsung Juli tak bisa tenang duduk di kursinya. Meski mata Juli terfokus ke depan saat guru sedang mengajar matematika, nyatanya dia dilanda gelisah bukan main. Sesekali mencuri lihat keluar kelas, melirik ke jam dinding lalu berakhir menatap layar ponsel yang terus menyala. Dengan sengaja Juli menunggu kabar dari Mila yang tak kunjung datang.

Di sampingnya Ari mengernyit heran melihat sahabatnya bertingkah tak biasa macam cacing kepanasan. Kendatipun begitu, Ari hanya bisa melempar pertanyaan dengan alis naik turun dan bibir berkata 'apa' sebagai kode tanpa suara.

Juli mendesah pelan tak berniat menjelaskan. Matanya cuma peduli pada ponsel di laci meja. Sekali getaran terasa dari ponselnya, pertanda sebuah pesan masuk. Buru-buru Juli membuka notifikasi tersebut tanpa pikir panjang. Bahkan tidak memerhatikan siapa sang pengirim pesan singkat itu.

"Sial!" desis Juli kasar seraya menggebrak meja dan tanpa sadar semua orang di kelas menatapnya kaget. Terutama Ari yang hampir jantungan karena suara kencang barusan.

"Juli ada apa?"

"Nggak Bu. Saya boleh izin keluar sebentar?" sahut Juli kikuk lalu berdiri berlagak merasa sakit perut begitu sang guru menegur dengan ekspresi penuh tanya.

"Silahkan."

Dengan gesit Juli langsung keluar kelas lalu berlari kecil menuju taman sekolah bukannya toilet. Juli sebenarnya bukan kebelet tapi ingin menemui Mila yang baru saja keluar dari kantor guru. Dia tak sabar hendak mencecar kakaknya habis-habisan setelah ini. Emosinya kini telah di ubun-ubun. Namun, Juli dibuat celingukan ketika hanya melihat ibunya sendirian di taman yang sepi.

"Ibu?" Wanita bertubuh mungil itu menoleh saat melihat anaknya tergopoh-gopoh menghampiri kemudian ikut bergabung duduk di sebelahnya. "Di mana Abang?"

"Barusan ke toilet katanya. Tapi udah dari tadi belum balik juga."

"Abang pasti kabur, Bu," tuduh Juli sangat yakin kalau Okto sudah pergi lebih dulu entah ke mana. "Terus Abang beneran diskor empat hari, Bu?" lanjut Juli tak sabaran mengkonfirmasi pesan singkat yang ibunya kirimkan tadi.

Ibu mengangguk lemah sambil mendesah, sedang Juli meraup wajah gusar. Mendadak hal-hal negatif tumpang tindih di dalam kepalanya bagai sarang burung.

"Ibu udah minta keringanan sama pihak sekolah, tapi nggak bisa. Bahkan wali kelas Okto juga nggak bisa bantu," terang ibu sedih.

"Wajar, Bu. Kesalahan Abang udah sering bahkan beberapa kali diperingati nggak mempan. Dia banyak melanggar aturan sekolah. Pak Bima siapa pun sampe hapal kelakuan jelek Abang. Kalo aku juga ogah kasih keringanan anak kayak gitu."

"Juli ngomongnya pake bahasa yang baik, Nak. Itu Abang kamu juga."

"Biarin, Bu. Manusia bisanya nyusahin aja. Pokoknya aku nggak akan tinggal diam dan maafin dia kalo bikin Ibu sedih terus, apalagi sampe bikin ayah marah nanti."

"Kalo gitu Ibu bakal kasih tau ayahmu yang sebenarnya."

"Tapi Bu--"

"Kita udah sepakat kemarin, Juli. Ibu sangsi kalo ayahmu malah nggak dikasih tau. Apa yang bakal dia lakuin soal masalah sebesar ini. Dengan Ibu pergi ke sekolah sendiri aja sudah salah, Juli. Apalagi kalo Ibu nyembunyiin soal skorsing Okto. Ayahmu kepala keluarga dia punya tanggung jawab sama anaknya. Meskipun kabar buruk ayah harus tau. Kalau nggak masalahnya makin besar."

Juli tak merespons rasanya ingin membantah ucapan ibunya itu. Tapi dia pilih diam dan tak ingin membebani ibu lebih banyak lagi. Ibu mengelus pundak Juli pelan.

"Nggak apa-apa. Ibu akan baik-baik saja. Kan, ada Juli?"

"Baik kalo gitu, Bu. Tapi janji, kasih tau ayah setelah Juli pulang sekolah nanti?"

"Iya, Nak." Ibu tersenyum tipis sedikit lega karena berhasil meyakinkan anaknya. "Kalo gitu kamu balik ke kelas sana. Jangan kelamaan nanti dicariin guru."

"Gampang, Bu. Yang penting Ibu dulu. Ibu hati-hati di jalan ya?"

"Iya."

Selepas pertemuan singkat bersama ibunya, Juli kembali ke kelas meninggalkan Mila yang hendak pulang ke rumah. Sementara itu, di ujung taman yang terdapat bunga terompet kuning Okto berdiri sejak tadi mendengar semua percakapan antara ibu dan adiknya.

 Sementara itu, di ujung taman yang terdapat bunga terompet kuning Okto berdiri sejak tadi mendengar semua percakapan antara ibu dan adiknya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Salam 🍉

Mei bulan JuliWhere stories live. Discover now