Bab 10

1.4K 122 8
                                    

Sore ini Cuacanya mendung, tapi hujan masih enggan untuk turun membasuh bumi. Seorang wanita sedari tadi melihat dengan gusar ke arah arlojinya, hampir setiap menit dia memeriksa pintu masuk sebuah restoran yang cukup ramai. Peluhnya yang terus bercucuran padahal restoran ini sudah dilengkapi ac yang cukup dingin, namun keadaan tubuhnya yang panas dingin sejak tadi dia menginjakkan kakinya di restoran ini. 2 butir pil penurun panas sudah dia minum sebelum ke restoran ini, tapi tetap saja demamnya belum juga membaik.

"Di mana dia, sudah lewat 15 menit belum juga nongol." Gumamnya pada diri sendiri.

Mendapatkan izin kekasihnya untuk bisa keluar kost dengan keadaan sakit seperti ini sangatlah sulit. Dia harus membuat alasan yang masuk akal agar kekasihnya percaya. Dia dan kekasihnya menjalani perdebatan yang cukup alot. Kekasihnya tentu bersikeras untuk menemaninya pergi namun tentu saja dia tidak mau di temani kekasihnya. Bagaimana mungkin kekasihnya menemani dia saat dia hendak bertemu pacarnya yang lain. Itu sangat tidak mungkin.

Siapa lagi wanita itu kalau bukan Zidny. Gadis menawan itu memberi alasan untuk menemui dosen pembimbingnya membahas tentang skripsi Zidny yang akan di sidangkan minggu depan. Zidny juga meyakinkan kekasihnya kalau hal itu tidak dapat di tunda karena dosennya akan pergi keluar kota selama beberapa hari. Tentu saja Dinda merengek agar Zidny mengizinkan Dinda untuk menemaninya. Tapi bukan Zidny namanya kalau tidak bisa membujuk Dinda. Alhasil di sinilah dia menemui Evan kekasihnya yang lain sedangkan Dinda di kost Zidny mungkin saja saat ini Dinda sedang uring-urungan karena Zidny tidak membalas pesannya sejak tadi.

"Apa sudah lama sayang? Maaf agak macet tadi." Evan tiba-tiba datang dan langsung mengecup pelipis Zidny dengan sayang.

Zidny POV

"Apa kamu sedang sakit sayang?kenapa wajahmu pucat sekali?" Tanya Evan lagi padaku.

"Aku hanya sedikit lelah, setelah bimbingan dengan dosen di kampus tadi aku langsung kesini?" Jawabku berbohong.

"Baiklah, kita makan aja di sini nanti kita akan langsung pulang ke kost mu aja ya."

"Apa?hmm no!" Spontan saja aku menjawab seperti itu.

"Kenapa?" Evan menatapku penuh tanda tanya.

"Hmm kamu gak pingin kita jalan-jalan dulu kemana gitu mumpung kamu di sini." Aku mencoba mengalihkan.

Walaupun harus menahan ngilu disekujur tubuhku karena demam ini, itu tidak apa-apa daripada harus pulang ke kost terus mempertemukan Evan dan Dinda, aku tidak akan pernah siap untuk itu.

Jujur aku sangat takut kehilangan Dinda, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan keberadaan Evan. Kalau boleh jujur aku sudah di tahap ingin sekali menikahi Dinda meskipun hubungan kami masih seumur jagung tapi aku begitu yakin padanya, tapi apakah mungkin? Di samping kami yang berbeda keyakinan kami juga segender. Miris sekali takdir kami.

"Tapi kamu beneran gak apa-apa sayang?" Tanyanya lagi.

"Gak apa-apa Bi." Jawabku.

"Baiklah, selesai makan kita jalan-jalan aja ya, kamu kesini tadi naik motor sendiri?"

"Gak Bi, aku naik taxi tadi."

"Yaudah bagus deh, kebetulan aku bawa mobil sewaan hotel tadi."

"Oke Bi."

Setelah itu kami mengobrol santai sambil menikmati makanan yang sudah kami pesan. Hanya seputaran kerjaannya dan kapan wisudaku.

Sehabis makan kami memang jalan-jalan, hanya jalan-jalan saja keliling kota Bandung. Di dalam mobil yang Evan kendarai, Evan lebih banyak yang bicara, sedangkan aku lebih banyak diam, pikiranku terus melayang pada Dinda. Beberapa kali handphoneku berbunyi menandakan pesan masuk, sudah ku pastikan itu Dinda tapi aku tidak membalasnya sama sekali. Paling sampai kost ku nanti aku harus siap melihat amukan Dinda.

When I'm In Love With HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang