MM 2 : Chapter 20 - Forgive Me

Mulai dari awal
                                    

Awalnya, dia berjanji akan menghadiahi pertemuan dengan Carlie seketika dia menyelesaikan masalahnya. Namun kali ini, ada sesuatu hal yang lebih penting.

Di rumahnya.

Dan hingga kembali ke rumah, tidak sekalipun ada pembicaraan diantara mereka.

***

Bahkan hingga sampai kembali ke rumahnya, beberapa lama kemudian, Jona belum membasuh ataupun mengeringkan tubuhnya. Dia membiarkan AC Mobil yang melakukan pekerjaan itu untuknya. Namun rupanay AC belaka tidak mempan melawan derasnya hujan. Sehingga hingga kini, dia setengah kebasahan. Tubuhnya masih lembap, rambutnya masih lepek. Namun dia peduli setan. Langkahnya menggema lantang-lantang di mansionnya yang nyaris tidak ada orang. Dia menyuruh semua orang untuk kembali ke balai peristirahatan mereka. Semula, Devan bertanya untuk apa. Namun Jona enggan menjawab. Dia hanya menitah dan tak lagi berkata, lantas kakinya membawanya pergi, menuju tempat yang harus ditujunya.

Pigura foto keluarganya.

Jona tertegun di hadapannya. Melihat wajahnya yang kecil. Wajah Kakaknya yang tersenyum tipis. Lantas wajah ibunya yang pucat. Terakhir, wajah Ayahnya yang pernah dia bunuh. Rasa mual menjalarinya, namun Jona mencoba untuk menahan rasa ini. Tangannya bergetar ketika dia menyentuh pigura. Namun setelah menarik nafas beberapa kali, akhirnya dia berani menekannya, menariknya membuka. Dan terbentanglah di hadapannya, sebuah ruangan yang dipenuhi kenangan pahit. Sebuah ruangan yang selalu disembunyikannya. Satu--satunya tempat yang tidak pernah dibersihkan di rumah temaram ini. Satu-satunya tempat di mana Jona bisa melihat masa lalunya.

Banyak hal yang dia sadari semenjak pertarungannya dengan Volkov. Mungkin, pertarungan itu adalah pembuka mata terbesar yang pernah dia kenali sepanjang hidupnya.

Jona melihat ke kanan ke kiri. Menelaah seisi ruangan yang berisikan benda-benda berdebu. Foto yang berjelaga, lemari yang bahkan lebih buruk. Sofa usang yang sudah tidak layak digunakan. Ubin yang pecah di lantai, dan sebuah senapan yang hancur bekeping-keping di dekatnya. Namun bukan itulah yang dia cari hari ini.

Bukan itulah yang Jona sadari dari pertikaiannya dengan Volkov.

Dia manarik nafasnya dalam-dalam, mencoba menenangkan denyut hatinya yang mulai mengencang, rasa perih yang menderak matanya. Dia berjongkok perlahan ke ubin, dan dengan jemari bergetar, dia meraih satu barang yang menjadi bukti akan apa yang telah dunia berikan kepadanya.

Suratnya, yang dipenuhi kebencian.

Aku benci Nathan! Aku benci Mama! Aku benci Papa! Aku benci dunia ini! Lebih baik mereka semua mati saja!

Tidak, lebih baik, aku tiada saja sejak awal.

Kumohon siapa pun, bunuh aku.

Rasa sesak melejit ke dadanya. Lagi-lagi, Jona merasakan dorongan mual di perutnya. Dorongan untuk kabur saja dari semua ini, kabur saja dari dunia, dan tidur tenang selamanya tanpa harus menghadapinya. Namun dia menyadari kalau dia harus melawan kebencian ini seorang idri. Bukan bergantung kepada Carlie. bukan kepada ibunya. Bukan kepada siapa-siapa. Hanya dia dan dirinya seorang.

Aku mengetahui satu hal setelah pertengkaran dengan Volkov.

Seperti layaknya Volkov yang membenci kehidupan lamanya, dan menjadikan Jona sebagai alasan hidupnya membaik, sehingga mengagumi sampai tergila-gila. Sama sepertinya yang terpuruk, hanya pengemis, dan diselamatkan nyawa oleh Jonathan Austin, lantas memaksa Jona menjadi alasan hidupnya. Mungkin.... tidak, memang.... Jona pun sama.

Dia bukan membenci ayahnya. Dia bukan membenci ibunya. Dia bukan membenci Nathan. Dia bukan membenci dunia.

Dia hanya membenci dirinya sendiri.

Madame MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang