Chapter 28 - Wish (2)

6.4K 570 147
                                    

Hai semuanya! Welcome back!

This chapter is long AF WKWKWKWK tapi aku yakin kalian akan suka. Kita lope lopean dulu okeii

Bacanya diawet-awet spy ga cepet kangen, and have a nice emotional ride ahead!

Happy reading!

~~~

Chapter 28 - Wish (2)

~~~

Ubin diketuk di bawah kakinya, gemeretaknya nyaring sebab tak ada bunyi lain bersuara di lorong ini. Langkah Jona. Lambat-lambat, namun terukur. Juga penuh penekanan. Dari langkah belaka saja, setiap insan manusia niscaya akan menebak kalau itu langkah yang sarat dendam. Sarat amarah. Tangannya terkepal, mengaku di kedua samping tubuhnya. Matanya berkilat-kilat, mengibar panji peperangan. Tatapannya tak terkira tajam, bagai mampu membelah batu lewat sirat semata. Beruntung di lorong ini tak satu pun orang hadir. Jika tidak, siapa pun niscaya mengompol ketakutan.

Sensasi dingin merambat ke tangannya tatkala Jona meraih gagang pintu. Getaran lagi-lagi terasa di jemari-jemarinya. Namun kali ini bukan karena takut. Bukan sebab rangsek kenangan lampau. Namun karena murka. Jona membuka pintu itu, nyaris membantingnya. Membiarkan cahaya menyelusup ke dalam kamar temaram nan kelam itu. Melukis paras ayahnya dengan sinar, juga ketakutan.

"J-jona." Bisiknya pelan. Bahkan tanpa bisa berjalan pun, dari suara-suara belaka, ayahnya pasti mampu menangkap keadaan saat ini. Bawahan Jona datang. Menumpas habis bawahan miliknya. Bahkan Hugo tak lagi bisa dihubungi. Dugaan awal Bov pasti tertangkap. Namun mengingat sifat anaknya, asistennya itu bernyawa pun rasanya ganjal.

Ketakutan terpancar di matanya. Rasanya janggal melihat meja berbalik. Biasanya Jona yang takut. Yang ditindas. Kini dirinya yang gentar. Dan ketakutan Bov ini melipat ganda, melihat Jona mengacungkan senapan ke padanya.

"K-kau tidak sungguh-sungguh mengancam ayahmu sendiri... tidak?"

Mata Jona kian menajam. "Bagaimana menurutmu?"

"H-hentikan ini, Jo." Bov berucap, mencoba tampak menitah, walau dia beringsut ngeri. "Aku ini ayahmu."

"Dan ayah seharusnya ada untuk menyokong anak. Bukan menghancurkannya." Jona mengokang senapannya, membuat Bov berjengkit. Nyaris menjerit menangis malah. "Pemandangan yang sama aku pandangi beberapa minggu lalu. Ketika aku membunuh Falcon."

Kerut yang timbul di kening kepala Bov menyiratkan amarah. Namun murka itu tak mampu disalurkannya. Terimpit ketakutan. Terimpit tekanan senapan yang mengarah padanya. "Mengapa kau membunuhnya?"

"Karena mama tidak akan bisa tidur dengan tenang tanpa aku membinasakannya."

Tubuh Bov seketika berpaku kaku. Cahaya di matanya bergetar-getar tanpa kendali. Jona semula berpikir kalau ayahnya tidak tahu menahu soal siasat buruk Falcon kepada ibunya. Namun dalam lubuk hatinya yang terdalam, Jona menebak kalau Bov sebenarnya tahu. Namun memutuskan untuk membiarkan. Membiarkan temannya meracuni istrinya sesukanya. Sekalipun istrinya akan binasa pada perjalanannya. Dan reaksi Bov kali ini menekankan kalau tebakan Jona tepat. Jona bisa meledak akan amarah rasanya. Berpikir ayahnya dikelabui orang lain, jauh lebih mudah ketimbang tahu kalau Ayahnya turut andil adalah ketiadaan ibunya.

"Mengapa kau membiarkan dia?"

Bov berkeringat. Deras. Nyaris menyerupai tetes-tetes air di jendela pada malam hujan. "Evalina menghambat pertumbuhanmu."

Jengkit lagi-lagi menggertak tubuh Bov ketika tangan Jona refleks meraih gagang pintu, dan membantingnya hingga tertutup. Suaranya keras membahana. "Bagian mana dari Mama yang menghancurkanku hingga kau membiarkannya mati, Sialan!?"

Madame MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang