Chapter 36 - Liar

5.3K 451 47
                                    

Hai semuanya! Welcome back! 

Aku gatau kalian bakalan suka chapter ini atau engga. AKu personally? Suka banget. Tapi aku cukup nyesek ngetiknya jadi... let's see, okai? xixixix 

Jangan lupa VOTE dulu sebelum mulai, ya! 

Happy reading!

~~~ 

Chapter 36 - Liar 

~~~

"Ingatkan aku untuk menamparmu sesampainya kita, ya!" Aku mendengus, untuk ke sekian kalinya, karena Devan mengedari mobil begitu kencang, membanting setir ke kanan, ke kiri, kasar tidak main-main, sampai aku beberapa kali menabrak pintu mobil, dan lenganku kini mulai nyeri. "Apa Jona tidak menggila disetirkan seperti ini olehmu setiap hari?!"

"Biasanya saya penyetir yang kalem, Madame. Namun malam ini," dia lagi-lagi membanting setir ke kiri, di sebuah belokan tajam. Nyaris menabrak pagar jalanan, hanya menyisakan 5 sentimeter, "Kita berkejar-kejaran dengan waktu, sampai bawahan yang diikat siuman dan melapor kepada Paman Anda. Beliau sangat merepotkan."

Aku tidak bisa membantahnya.

Uncle pasti akan mencariku sesaat dia tahu aku kabur dari rumah. Dan Uncle Rian adalah salah satu pelacak terbaik di dunia. Besit rasa bersalah timbul di dadaku, aku lagi-lagi akan membuatnya khawatir setengah mati. Namun aku coba singkirkan perasaan ini. Demi menjumpai Jona. Demi pria yang kucintai.

Jalanan yang ditempuh Devan anehnya sangat familier. Di balik kelam malam, aku bersusah payah mencoba mencari tahu ke mana kami menuju. Dan selang beberapa detik, aku akhirnya sadar.

Ini adalah jalan menuju bungker Jona. Tempat mengerikan di mana aku pernah disekap selama satu minggu. Melihat orang-orang dimasukkan ke kandang, dipermainkan, disiksa hanya untuk menghibur sang iblis harus darah. Jalan di mana pertama kali aku menemui Jona, dan bertikai dengan seorang pria bernama Edgar Samos – yang fashionnya sangat buruk. Seketika, dadaku diimpit sesak. Aku mengingat tempat ini bagai baru aku kunjungi kemarin. Dan semenjak itu, sudah banyak cerita yang aku rajut bersama Jona. Kisah yang berakhir pada asmara. Asmara yang berakhir pada kehancuran. Bahkan jalanan belaka membuatku merindukan Jona mati-matian.

Aku memang menjadi cengeng karenanya.

Sosok bungker anehnya penuh kerinduan, juga impitan rasa bersalah. Ketika aku melangkah, aku ragu-ragu. Padahal aku selalu yakin. Aku mulai berpikir, apa yang akan kukatakan nanti ketika aku menjumpai Jona? Apa yang akan kulakukan kalau dia ternyata marah besar kepadaku? Apa yang akan kulakukan kalau dia tidak ingin menjumpaiku? Menendangku? Mengusirku, yang telah mengkhianati ikrar kami?

Apa yang akan kulakukan kalau itu terjadi? Seburuk apa aku akan kian hancur? Aku menggigit bibirku kencang-kencang, menahan pikiranku agar tidak macam-macam. Yang terpenting, kini aku harus membantunya. Apa pun caranya.

Sekalipun setelahnya aku akan didepak, peduli setan.

"Tuan tidak bisa berhenti menggila." Sembari menuruni tangga menuju bungker bawah tanah, Devan menjelaskan. "Kami juga kepayahan mencegah aksi melukai diri Tuan yang tidak ada habis-habisnya." Kian banyak aku mendengar, hatiku kian sakit saja. "Beliau membutuhkan pertolongan."

Aku menggigit bibir bawahku, sampai rasa asin darah terasa. Peduli setan. "Bagaimana kalau dia menolakku?"

Devan terdiam sesaat. "Tuan tidak bisa menolak Anda, Madame. Sampai kapan pun."

Moga-moga. Hanya Tuhan dan aku yang tahu seburuk apa aku berdoa agar Jona tidak menendangku pergi. Aku merindukannya, sampai nyaris gila. Aku ingin memeluknya. Sekarang juga. Berlari ke kamar yang pernah aku singgahi sebagai tawanannya. Pasti Jona ada di sana. Kakiku bahkan sudah gatal ingin mengacir. Namun keningku berkerut kebingungan, tatkala Devan membawaku masuk ke sebuah ruangan yang berbeda. Jauh lebih kecil, kosong. Dan hanya berisikan sepasang sofa yang tidak diduduki siapa-siapa.

Madame MafiaWhere stories live. Discover now