Chapter 37 - Hard Choice

4.2K 450 22
                                    

Hai semuanya! Masih kuat sama sakit hatinya? 

Seperti biasa, awet-awet, okeii

Happy reading! 

~~~

Chapter 37 - Hard Choice 

~~~

Kami kepayahan bahkan untuk berjalan. Devan berusaha keras menopang Tubuh Jona, sedangkan sang pemilik raga harus meringis pada setiap langkah yang dia ambil. Perutnya sakit, pundaknya ngilu. Lebih buruk lagi, peningnya bagai tak mungkin usai. Petarung terbaik kami, Jona, kali ini bersusah payah untuk tegak.

Dari walkie talkie yang Devan miliki, dia mendapat kabar kalau terjadi pengeboman di pintu masuk bungker. Asapnya terasa sampai sini. Kami harus keluar lewat pintu evakuasi, yang tepat ada di sisi belakang bungker. Kami akan kabur lewat mobil dari sana. Bala bantuan sedang menuju kemari, atas perintah Devan, namun kami hanya bisa menggigit bibir berharap mereka sampai tepat waktu. Sembari melangkah di atas jelaga, aku menggenggam kuat tangan Jona, enggan melepaskan. Walau jauh dalam hatiku, aku tahu, kalau aku menyerahkan diri ke depan, ke pamanku, mungkin saja, semua ini akan cepat kelar.

Jona akan selamat. Namun entah kehancuran apalagi yang akan dialaminya karena kehilanganku. Membayangkannya saja, aku tidak tahan.

Kasak-kusuk walkie talkie membuatku menoleh. Karena suaranya kurang jelas, Devan tempelkan ke telinganya. Dari wajahnya yang memucat, aku tahu ini bukan berita baik. "Penjaga di depan pintu kewalahan." Aku pun ikut memucat.

"Jika kau membantu, apa keadaan bisa berubah?" tanyaku, berlagak tegar.

Devan mengangguk. "Saya bisa lebih mengendalikan keadaan dengan baik."

"Kalau begitu." Aku meraih pundak Jona, menopangnya dengan tubuhnya. Devan meragu, tapi akhirnya menyerahkannya kepadaku. Pundakku seketika terasa berat sekali. Aku coba tutup-tutupi ekspresi kesusahan. "Kau bantu saja di depan. Tapi sisakan satu senapan untukku."

Untuk sesaat, Devan terkejut. Sebenarnya aku juga. Sejak kapan aku seberani ini memegang senjata ini? "Ini, Madame." Dia memberikan satu handgun padaku. "Tolong jaga Tuan Jona. Jangan mencoba memenangi pertikaian apa pun, dan tolong hanya fokus melarikan diri."

Aku mengangguk. Padahal aku paling benci diberi perintah.

Devan membalikkan badannya, lantas melangkah menjauh. Namun baru berapa langkah dia kembali membalik. "Oh, dan satu lagi, Madame." Wajahnya kian memucat. "Dari seragam penyerang yang tidak profesional, kami menduga itu bukan kiriman Paman Anda."

Seketika, ombak kelegaan menenggelamkanku habis-habisan. "Lantas siapa?"

"Itu kabar buruknya." Rahang Devan mengeras. "Kemungkinan besar musuh Tuan. Dan skala penyerangan antar kelompok mafia, biasanya lebih besar."

Aku merasa tubuhku kebas. Namun yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk dan membiarkan Devan kembali menjauh. Beban Jona terasa kian memberat ketika aku mulai berjalan. Setiap langkah lebih susah dari sebelumnya, tulang-tulangku menjerit kesakitan. Namun aku tahu Jona lebih sakit lagi dari padaku. Kalau aku tidak tegar, kita ambruk berdua.

Dari keningnya yang berkerut, aku bisa tebak pening Jona kian memburuk. Lonjakan emosinya beberapa hari terakhir tentu mengacaukan kimia otaknya sedemikian rupa, sampai sakit fisik pun timbul. Dia limbung beberapa langkah sekali, aku harus menopangnya. Hamparan debu menyelimuti lantai. Aku bersusah payah untuk tidak terbatuk dan kian menyulitkan pernafasanku. Namun minimal sekarang tujuanku sudah jelas. Kabur bersama Jona. Bukan lagi pilihan rumit antara terus melaju, atau menyerahkan diri pada pamanku.

Madame MafiaWhere stories live. Discover now