Chapter 27 - A Letter that Brings Storm

6.9K 481 35
                                    

Hai semuanya! I miss you all! 

Carlie Eloise is back! 

Bacanya kaya biasa pelan-pelan, diawet-aweti ya! 

Happy reading! 

~~~ 

Chapter 27 - A Letter that Brings Storm

~~~

"Sempurna. Gambarnya cukup jelas."

Dengan seringai mengembang di parasnya, Ahmad menaikkan secarik foto dari amplop yang baru dikirimkan bawahannya. Imaji yang terpatri di sana sedikit buram. Gambarnya sarat bercak-bercak totol-totol, lantaran cahaya malam yang temaram. Menjadikan pemotretannya kurang apik. Namun kendati begitu, pesan yang hendak disampaikan lewat fotonya sejelas teks dalam koran.

Di kertas tak lebih dari 10 x 15 cm itu, terpampang paras Jonathan Austin. Yang wajahnya sedikit terdistorsi posisi kamera, namun sosok jangkungnya masih kentara. Orang asing pun bisa tahu ini foto Jona. Di sampingnya, berdiri seorang wanita. Tak terkira lekat dengannya. Wajah wanita itu lebih runyam lagi. Hampir sulit ditafsir karena kualitas kamera yang cukup buruk. Namun sekalipun samar, sosoknya Ahmad rasa masih tampak jelas.

Carlie Eloise Heston.

Rupanya, Edgar tidak berbohong. Jonathan Austin, dekat dengan putri keluarga Heston.

Dan foto itu adalah gambar yang mereka tangkap di hari kematian Falcon Emerald. Yang juga sesuai perkiraan mereka, dilancarkan oleh dua orang ini. Keduanya tanpa sadar berasyik ria menikmati seru angin sepoi malam. Tanpa tahu kalau di balik bayang, mata kamera tengah membidik wajah keduanya. Menangkap sosok mereka, cukup baik untuk menjadi bukti, yang akan Ahmad dan Edgar pergunakan ke depannya.

"Menggulingkan hubungan mereka dengan melibatkan paman Carlie Eloise memang menggiurkan. Namun porak-porandanya sedikit kurang menggetarkan." Edgar berucap di sampingnya, menyungging cengar-cengir menyebalkan. Beberapa bulan lalu, Ahmad laksana menamparnya. Mencabik tiap helai daging, dan membunuh Edgar Samos tanpa segan, hanya karena parasnya yang menyebalkan. Namun sekarang, hubungan mereka sudah kelewat dekat untuk dibebat dendam.

"Karena itu kita kirimkan foto ini kepada orang itu. Membawa badai lebih besar untuk mengecamuk." Ahmad membalas. Andai dia sadar, senyumnya tak lebih rupawan dari milik Edgar.

Kekeh berat suara Edgar mengudara. "Ini akan menjadi ajang permainan yang asyik."

Ahmad menahan kikikan. "Kau tak salah."

***

Jona tidak mengangkat sambungannya, tak peduli berapa puluh kali Bov Austin coba menghubunginya. Bagai memutus kontak dengan orang tuanya sendiri. Bagai enggan berbicara, padahal Bov butuh membahas masalah pelik dengannya. Padahal sebelumnya ini tidak pernah terjadi. Jona selalu membalas panggilannya.

Denyar pecah ponsel berderu ke lantai. Entah sudah ke berapa dalam satu minggu belaka. Bov lagi-lagi melempar elektronik bodoh itu, setelah sambungannya tidak digubris Jona, ke-8 kalinya hari ini saja. Sang suster yang senantiasa mendampingi, membersihkan ponsel remuk redam itu, menyiuk serta keping-keping tercecer. Tangannya kian hari kian bergetar saja. Air mata laksana menjerit ingin menumpah ruah dari sarangnya. Selama beberapa hari ke belakang, majikannya tak ubahnya singa buas. Yang tak diparap 1 bulan lamanya. Aum-aumnya kian hari kian lantang saja. Temperamennya kian jam, kian mendidih-didih saja.

Segala hal dijadikannya muara amarah. Entah brokoli yang terasa hambar, air yang ujarnya sepat, barangkali selimut juga bisa dijadikan alasan berang. Katanya, rasanya bagai berpasir. Padahal anyar diganti, itu pun langsung, sesuai keluar dari mesin cuci. Entah berapa puluh bentak yang mendera sang suster malang dalam kurun 1 minggu. Dia sendiri kewalahan menghitung. Namun yang jelas, kesabarannya kian hari kian tergerus. Hampir-hampir erosi sepenuhnya. Dia mulai merasa tak sanggup. Menghadapi majikannya itu, yang mencak-mencak setiap yang dia bisa, semenjak sahabat terdekatnya, Falcon Emerald meregang nyawanya.

Madame Mafiaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن