MM 2 : Chapter 10 - Who was his name?

Mulai dari awal
                                    

Jona terdiam untuk beberapa saat. Membiarkan keheningan merebak, dan membuat alis Eva berkerut kebingungan. "Jona?" Panggilnya lagi, serak namun begitu lembut. Jona menarik nafas panjang lalu menghembuskannya berat. Tahu kalau ibunya tidak akan suka apa yang akan dikatakannya setelah ini.

"Aku mulai kembali mengingat masa laluku."

Keheningan yang bahkan lebih pekat merebak ke sepenjuru ruangan.

Jona tidak melanjutnya, hanya bisa menatap mata Eva yang melebar begitu besar, tampak bagai akan jatuh dari kantung matanya. Debaran jantungnya bahkan terdengar sampai kemari. Dan dari alat deteksi jantung, Jona bisa melihat naik turunnya menjadi drastis. Keterkejutan melanda ibunya bagai tsunami. Dan walau Jona tidak ingin kesehatannya memburuk, namun dia tahu cepat atau lambat dia harus memberi tahu ibunya. Hanya saja secara singkat, dan padat. Dengan cara bagaimana pun juga, agar Eva tidak perlu merusak tubuhnya lagi.

"S-sebanyak apa? T-tidak. Bagaimana bisa?" Eva tergagap. Ketakutan dan kekhawatiran langsung melesat di sirat matanya. Seakan dia tengah melihat hantu, Seakan Jona adalah hantunya.

"Aku bertemu seseorang dari masa laluku." Eva kian melebarkan matanya, yang seakan memberi tahu Jona kalau dia mengertahui siapa yang Jona temui. Carlie Heston. Carlie pernah menceritakan kalau dia mengenali ibunya Jona. Karena itu Jona yakin, tanpa menyebut namanya pun, ibunya pasti tahu siapa yang dia maksud. "Dan aku tidak kemari untuk mengatakan banyak hal. Aku memiliki penerbangan yang cukup padat. Namun satu kata ini biar kukatakan kepadamu, Ma."

Jona meraih tangan Eva, menyadari betapa gemetarnya jemarinya. Berkedut-kedut sarafnya. Dipicu khawatir dan terkejut menggilakan. "Aku berteima kasih karena kau telah menyembunyikan semua kenangan buruk itu dariku. Keluarga kita, bukanlah yang terbaik bukan?" Senyum pahit terbit di wajah Jona. Dan wajah Eva kian pucat saja. "Namun aku lebih sengsara hidup tanpa mengetahui apa-apa. Karena itu aku memutuskan untuk mengenal diriku yang lama, sekali lagi."

"K-kau akan kembali menjadi dirimu yang... lama?"

Rasa pahit merambati kerongkongan Jona. Ibunya berucap seakan dia tidak menyukai putranya yang lama. Membenci dirinya yang sesungguhnya di balik tirai kenangan yang kandas. Menyayangi Nathan yang berbaur dengan sikapnya. Bukan Jonathan. Bukan anak bungsunya.

Dan hatinya berdenyut sakit hanya dengan memikirkannya saja.

"Aku telah memutuskan begitu." Jona bangkit dari kursi tamunya, mencoba terlihat setenang yang dia bisa. "Aku harus pergi cepat-cepat. Aku akan panggilkan Nona Fallow. Dengan sedikit obat penenang, kau seharusnya akan baik-baik saja, Ma."

Jona memutar badan, hendak pergi meninggalkan ibunya, dan memanggil suster yang menananinya. Namun bahkan sebelum itu, bajunya ditarik oleh tangan kanan ibunya yang dibalut infus. Alhasil membuat infus itu copot, dan tubuh Eva yang tidak bisa menahan bebannya sendiri, nyaris berguling ke lantai. "Ma!" Jona membelalak, meraih tubuh Evalina tepat waktu. Wanita itu langsung bersandar di pundak Jona ketika dia mengembalikan tubuh ringkihnya ke kasur. Namun walau Jona ingin pergi, dia tidak bisa. Sebab kini ibunya mencengkeram bajunya keras-keras, dengan segala kekuatan yang dia miliki tersisa di tubuh lemahnya.

"T-tidak boleh. T-tidak boleh begini, Jona. Kau tidak boleh kembali menjadinya!" Air mata hangat terasa membasahi baju Jona. Menuruni perutnya, sampai ke kakinya. Kian banyak air mata yang mengucur kian sakit pula hati Jona berdecit.

Dia bisa menebak kalau ibunya tidak akan menyukai dirinya yang lama kembali. Yang kelam. Yang luka. Yang banyak kecacatan, dan kekejian. Tidak ada yang mau menerimanya apa adanya, kecuali Carlie. Tidak bahkan ibunya. Semuanya menyukainya yang banyak tersenyum, padahal mereka hanya membuat realitas palsu, kebohongan untuk menjauhkan Jona dari dirinya yang sebenarnya.

Madame MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang