MM 2 : Chapter 4 - Memories

Start from the beginning
                                    

***

Hatinya bagai diimpit barbel berat. Tangis menderu, mengliri wajahnya tanpa henti. Tangannnya bahkan bergetar ketika meraih kenop pintu. Getaran kerinduan dan lara yang berlabur. Carlie langsung melepas seluruh baju pestanya sesaat dia sampai, mengenakan baju tidur asal yang tergeletak di sofa. Kemarin dia menggunakan pakaian itu. Lantas tungkainya mengacir ke kamar mandi, untuk membersihkan asal riasan wajahnya, yang kini sudah hancur oleh tangis. Tentu saja, dia tidak berhenti menangis sedetik pun di dalam mobilnya. Menangisi kekonyolannnya untuk tidak berjumpa dengan Jona. Menangisi tungkainya yang kabur. Menangisi betapa rindunya dia pada pria kesayangannnya itu, namun luput meraihnya.

Menangisi betapa bodoh dirinya, melepas kesempatan yang mungkin tidak akan kembali lagi.

Maskaranya kacau balau, sekacau sanubarinya. Bahkan Carlie tidak membersihkannnya pelan-pelan. Dia menghapus asal saja riasannnya dan kembali ke kasurnya, terlentang. Menangis seperti anak kecil.

Anak kecil yang merindukan boneka kesayangannnya.

Sialnya, boneka itu tidak diperuntukan oleh takdir baginya.

Dadanya sakit setengah mati. Dari ekor matanya, Carlie bisa melihat laci di mana dia menumpukkkan semua alkoholnya, cara untuk dia tertidur. Impit di dadanya, bagai akan menghancurkannnya. Setiap detik, lebih buruk dari sebelumnya. Dia mengenang setiap malam dia tertidur penuh rindu. Penuh jerit ingin beertemu. Penuh harap, kalau mereka bisa dipersatukan, sekali lagi. Berharap melihat pria yang dicintainya, baik-baik saja, walau tanpanya.

Semua kenangan malam itu menjadikan hatinya kian sesak saja. Carlie meringkuk sembari membasahkan seprainya oleh tangis pilu yang tak berkesudahan.

Aku lelah.

Dengan semua cerita cinta ini. Dengan semua rasa sakit ini. Dengan hubungan yang tidak direstui ini.

"Lantas mengapa kau mempermainkanku?" Bisikannnya begitu lirih, jikalau didengar langsung, mungkin seseorang akan ikut menangis bersamanya. Ucapannnya entah ditujukan kepada siapa. Mungkin Tuhan, Mungkin dewa dewi, Mungkin takdir. Mungkin semuanya. Carlie hanya ingin berdamai dengan hatinya. Kembali menjadi dirinya yang lama, merindu kebahagiaannnya tanpa rasa kehilangan. Merindu tidur nyenyaknya, tanpa tersiksa memikirkan pria yang paling dia cintai di seluruh dunia.

"Dan bagaimana aku bisa melakukan itu kalau aku berjumpa denganmu, hari ini?"

Kelelahan menangis, Carlie memejamkan matanya perlahan demi perlahan. Mulas juga pening membuatnya tak tahan lagi. Dia butuh tidur. Kali ini alkohol tidak dibutuhkan. Tangis telah memabukkannya. Dan selagi matanya tertutup, Carlie berdoa sekuat mungkin di dalam hatinya. Jikalau kesempatan kedua akan mengetuk pintu takdirnya. Kesempatan untuk menemui Jona sekali lagi.

Untuk memeluknya. Untuk mengatakan, "Aku masih mencintaimu."

Sembari kegelapan menyelimuti, hatinya mengucap harap hampa yang kali ini berani dia harapkan. Aku ingin bertemu denganmu, Jonathan Austin.

***

Untuk kali pertama sepanjang 4 tahun barangkali, Dewa-dewi memihak kepada Carlie.

Dia memimpikan Jona. Mata juga rambut kelamnya. Decak geramnya. Kehangatannnya. Pembicaraan mereka sebelum tidur. Segalanya yang manis-manis, Carlie memimpikannya. Namun barangkali sebelum dia bahkan tidur selama itu, kesadarannnya kembali. Carlie mengerjapkan matanya yang begitu lengket karena tangis yang tak berkesudahan. Sekujur tubuhnya seperti dihunjami jarum-jarum kecil. Katanya emosi memberi rasa sakit sama banyaknya seperti fisik. Kali ini Carlie kesakitan setengah mati.

Sembari mencoba bersusah payah bangkit dari tidurnya, tiba-tiba dia merasakan nafas seseorang di sampingnnya. Nafas berat, penuh penekanan. Juga kehangatan dari seorang manusia.

Madame MafiaWhere stories live. Discover now