26. Jeandra Kuat dan Hebat

487 52 19
                                    

—JEANDRA DAN WAKTUNYA—
.
.
.
.
HAPPY READING




Irena tengah dihadapkan dengan rasa gelisah yang begitu besar di dalam hatinya. Sejak lima belas menit yang lalu ia membawa putranya ke rumah sakit, kini pengobatan itu belum juga selesai dilakukan.

Irena yang memang lemah ketika melihat putranya sakit pun hanya bisa menangis sembari mengusap dadanya yang tiba-tiba saja terasa sakit dan sesak. Mungkin, itu karena dirinya menangis secara terus-menerus.

Jaydan yang kini berada di samping Bundanya pun hanya bisa berdoa agar tidak terjadi hal yang buruk terhadap adiknya.

Sebetulnya Jaydan tak beda jauh dengan Bundanya. Dirinya juga ingin menangis, ia ingin melihat adiknya baik-baik saja. Tetapi ketika ingin mengeluarkan air mata, ucapan yang pernah adiknya lontarkan selalu terlintas di dalam otaknya.

Adiknya bagaikan memberi isyarat kepada Jaydan tatkala Jaydan hampir menitikkan air mata. Sebegitunya sang adik tak ingin dirinya menangis? Sampai-sampai adiknya tak pernah memikirkan rasa sakit yang ada di dalam dirinya sendiri.

Mengingat itu, Jaydan menundukkan wajahnya. Mengepalkan tangan sebagai bentuk meluapkan emosi. Harusnya, ia tidak usah selemah ini. Jean yang memiliki banyak penderitaan pun tidak pernah menitikkan air mata. Harusnya Jaydan banyak belajar dari adiknya yang sangat-sangat ia kuat itu.

Jika ditanya seberapa besar kasih sayang Jaydan kepada adiknya, maka ia akan menjawab. Langit dan semesta pun tak bisa menjadikan patokan rasa sayangnya kepada sang adik. Rasa sayang Jaydan kepada adiknya begitu besar. Dirinya pun tak bisa menyamakan itu dengan apa pun saking besarnya.

Dek bangun ... kakak di sini janji gak akan sedih lagi. Ayo kita habiskan waktu kamu dengan momen-momen bahagia. Kakak janji, tapi kakak mohon, Adek bangun ....

Tepat setelah mengucapkan kalimat itu di dalam hati, dokter Dimas keluar dari ruangan dengan sorot wajah yang sendu.

Irena dan Jaydan serempak bangkit dan mendekat ke arah dokter Dimas. Irena dengan cepat menyeka sisa air matanya.

"Dokter, gimana keadaan anak saya?" tanya Irena dengan suara yang serak akibat menangis.

Helaan napas berat dokter Dimas keluarkan dari mulutnya. Jaydan yang melihat itu tentu semakin dibuat penasaran dengan hasil pemeriksaan.

"Ibu Irena bisa ikut ke ruangan saya?" Dokter Dimas membuka suara.

Irena mengangguk. "Bisa, Dok."

"Baiklah mari ikut ke ruangan saya."

Keduanya berjalan hendak menuju ke ruangan. Namun, tangan dokter Dimas dicekal oleh Jaydan membuat dokter Dimas menolehkan pandangannya ke arah Jaydan.

"Ada apa, Jaydan?" tanya dokter Dimas.

Menundukkan kepala sejenak, Jaydan lantas kembali menatap dokter Dimas sendu. "Apa saya boleh masuk ke dalam dokter? Saya mau menemani adik saya."

Mendengar itu dokter Dimas tersenyum tipis lantas menganggukkan kepala. Jaydan yang melihat persetujuan dari dokter Dimas pun langsung saja masuk ke dalam ruangan adiknya.

Saat masuk, pandangan pertama yang Jaydan lihat adalah adiknya yang masih setia memejamkan mata dan terlihat tenang.

Jaydan memilih untuk duduk di bangku yang tersedia di samping bangsal milik adiknya lantas menggenggam tangan adiknya yang tampak kurus itu.

Jeandra dan Waktunya  Where stories live. Discover now