24. Lelah

411 54 4
                                    

—JEANDRA DAN WAKTUNYA—
.
.
.
.
HAPPY READING








Jeandra menatap kosong pemandangan yang ada di hadapannya. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Jean terlalu bingung dengan perasaannya sendiri hari ini. Jean tengah berada di taman yang ada di komplek perumahannya. Dan di tempat ini, tak ada siapa pun.

Jean mendongak menatap ke arah nabastala yang kini sinar matahari yang sudah berubah warna menjadi warna oranye. Perlahan, senyuman terbit di bibir Jean yang pucat.

Satu kata untuk hari ini adalah ... lelah. Jean lelah sekali lantaran harus bolak-balik ke rumah sakit. Terlebih lagi, dirinya baru saja menyelesaikan kemoterapi. Dan duduk di taman ini pun Jean tak izin kepada keluarganya. Karena ia sudah tahu jawabannya.

Jeandra kembali menundukkan wajahnya. Ingin menangis pun tak bisa. Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak menjadi orang yang lemah, apalagi jika harus menangis, Jean tak suka itu.

Padahal, dirinya kerap sekali berkata kepada teman-temannya untuk tak menahan tangisan. Tetapi lihatlah, dirinya pun kerap sekali menahan tangisannya untuk tidak keluar dari matanya. Karena baginya, itu semua tak akan mencerminkan seseorang itu kuat. Jean ingin menjadi penguat bagi semua orang.

"Ya Tuhan, bolehkan Jean berkata bahwa Jean lelah akan semuanya? Jean mau sembuh ..." ucapnya begitu lirih.

Tanpa terasa, setetes air matanya jatuh begitu saja permisi. Rasa sakit di perutnya bahkan tak begitu terasa. Yang terasa begitu sakit saat ini hanya hatinya.

Jean menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Ia menangis dengan suara tangisan yang terdengar begitu menyakitkan. Sungguh, rasanya ingin mengakhiri semuanya. Semua yang membuatnya sakit.

Tetapi ketika mengingat janji yang dirinya ucapkan sendiri, Jean menghentikan tangisannya. Ia menyeka sisa air matanya lantas kembali memunculkan senyuman.

"Jean kan Ultraman! Jean gak boleh nangis!" monolognya sembari menahan tangisannya agar tidak keluar lagi.

Tapukan di pundak Jean rasakan, sontak membuat dirinya menoleh ke belakang. Melihat ada Sean di sana, Jean memunculkan senyumannya seolah tak terjadi apa pun tadi.

"Kamu ngapain di sini, Jean?" tanya Sean sembari mendudukkan dirinya di samping Jean.

"Aku lagi pengen lihat senja, jadi aku duduk di sini, Sean." Jean menatap Sean dengan tatapan yang sulit sekali Sean artikan.

Sean terdiam sejenak meneliti wajah Jean yang tampak memerah. Pertanyaannya, apakah Jean habis menangis? Pasalnya, terlihat dari hidung Jean pun terlihat memerah saat ini. Tetapi yang begitu kentara adalah, bibir Jean yang pucat.

Sean juga sulit mengerti dengan Jean. Mengapa wajahnya selalu terlihat pucat, tetapi melihat semangat dari Jean, Sean tak yakin jika Jean sedang sakit. Dan Sean mencoba untuk berpikir positif, mungkin saja memang Jean sudah ditakdirkan untuk memiliki wajah yang pucat.

"Kamu kenapa ke sini Sean?" tanya Jean.

Sean tersenyum tipis. "Cuma mau nenangin pikiran aja. Capek belajar terus," balasnya.

"Bagus, jangan terlalu dipaksa. Itu gak baik buat kesehatan."

Sean mengangguk. Namun, atensinya beralih menatap punggung tangan Jean yang terlihat ada bekas infusan di sana. Otomatis Sean menatap Jean dengan sendu.

Jeandra dan Waktunya  Where stories live. Discover now