Part 35 || SM

186 10 2
                                    

Seorang wanita paruh baya sedang duduk di halte bus, dengan koper besar yang ada di sampingnya. Dan ponsel baru yang ada di genggamannya, sebuah beranda aplikasi google maps terpampang jelas di sana. Terlihat, ia akan menuju sesuatu tempat. Dia Renatha, Ibu kandung Abbas.

"Uhuk ... uhuk .." Batuk yang kian bersuara tanpa henti, membuat tenggorokannya seakan ingin keluar. Tapi tekatnya untuk menemui anak lelakinya itu, lebih kuat dari penyakitnya sekarang.

"Semoga kamu menerima mama ya, Nak. Maafkan orangtuamu yang tidak tahu malu ini." Gumamnya, lalu menyeka air mata yang hendak menetes di pipinya. Ia berencana ingin ke arah rumah, Khadeejah dulu. Untuk tahu keberadaan Abbas.

Bus berhenti di halte, orang-orang keluar. Dan ada juga yang masuk. Renatha yang kesusahan masuk karena punggung dan kakinya yang terasa tidak berdaya. Membuatnya kesusahan untuk naik.

"Saya bantu, Bu." Kata-kata itu terdengar dari samping kirinya, terlihat seorang pemuda yang memakai baju kaos hitam dan sarung dengan koper yang juga pemuda itu bawa. Pemuda itu pun mengambil alih, koper Renatha dan mengangkatnya keatas. Setelah mengangkat koper Renatha, dan kopernya. Pemuda itu turun lagi ke bawah, "Ayo, Bu. Sama saya naiknya." Ujarnya.

Renatha hanya diam dan mengangguk saja, dan membiarkan pemuda itu membantunya. Renatha pun duduk di kursi yang di tunjukkan oleh pemuda itu. Bus pun berjalan, tetapi pemuda itu malah berdiri selama di perjalanan. Renatha merasa tak enak.

"Kamu duduk ya, Ibu yang berdiri. Ayo." Ujar Renatha, lalu berdiri. Sebelum ia berdiri, pemuda itu lebih dulu mengisyaratkan agar Renatha tetap duduk, "Jangan, Bu. Ibu aja, saya masih kuat berdiri soalnya." Jawabnya. Renatha pun hanya menuruti kemauan pemuda itu. Memang benar, punggung dan kakinya sangat sakit tidak akan kuat berdiri.

"Ibu mau kemana?" tanya pemuda itu membuka topik pembicaraan.

"Nyusul anak ibu." Jawab Renatha, lembut. Dan di balas anggukan oleh pemuda itu, "Kalau kamu, mau kemana, Nak?" tanya Renatha lagi.

"Mau balik ke pondok, Bu." Jawab pemuda itu dengan senyuman dan penuh kesopanan.

"Pondok?" tanya Renatha, ia bingung. Pondok apa? Apakah anak ini ingin pergi hiking?

Pemuda itu, sekilas melihat kalung Renatha yang melambangkan salip. Ia tersenyum, "Pondok pesantren, Bu. Saya muslim, menuntut ilmu di sana. Kalau ibu belum tau, pondok pesantren itu kayak sekolah juga tapi fokus belajar Ilmu Agama saja. Omong-omong, nama saya Ilham, Bu. Jadi ibu bisa panggil saya, Ilham." Jawabnya lagi.

Renatha terdiam sesaat, ternyata pemuda ini adalag seorang muslim. "Begitu ya, terimakasih sudah mau menjelaskan, Ilham." Ujarnya. Dan di balas anggukan sopan oleh pemuda itu.

"Tujuan ibu kemana?" tanya Ilham lagi.
"Ibu ke Kalsel." Jawab Renatha, "Banjarmasin, Bu?" tanya Ilham lagi dan di balas anggukan sekaligus senyuman oleh Renatha.

"Wah, satu arah dong. Pondok pesantren saya juga di sana, Bu." Ujar Ilham, semangat, "Makasih Bu yang bakal nemenin saya sampai sana, padahal biasanya saya berangkat sendiri terus."

"Kamu yang menemani saya, Ilham. Terimakasih juga ya." Sahut Renatha, "Kenapa sendiri terus? Perjalanan dari Jakarta ke Kalsel kan, jauh." Sambungnya.

"Ya sendiri, Bu. Kedua orangtua saya sudah meninggal." Ujarnya lalu tersenyum, Renatha melihat senyuman hambar di sana.

"Turut berduka cita, ya Ilham. Kamu anak kuat, yang rajin ya belajarnya." Ucap Renatha.

"Pasti, Bu. Saya memang rajin belajar di pondok, biar pahala saya ngalir ke orangtua saya yang sudah di kubur." Ujarnya, "Karena harapan orangtua saya, ya saya sekarang. Kalau dulu, orangtua saya mengharapkan saya membahagiakan mereka. Saya harap, mereka sudah bahagia di sana sekarang." Tambahnya.

"Pasti bahagia, orangtua kamu. Kamu anak yang berbakti, pasti orangtua kamu baik." Ucap Renatha lagi.

"Memang baik, Bu. Pas kecil, nggak pernah badan saya memar karena di pukul. Nggak pernah telinga saya berisik sama teriakan. Kalau sampai sekarang orangtua saya masih hidup, saya bakalan menjadi anak yang paling beruntung di dunia ini. Tapi Allah lebih sayang sama orangtua saya." Jelas Ilham.

Renatha yang merasa dirinya gagal menjadi orangtua, kini semakin di hantam keras oleh perkataan Ilham. Begitu bodohnya, mengapa ia dulu tidak melakukan hal begitu kepada Abbas. Mengapa ia malah melakukan hal yang sebaliknya?

"Ibu juga pasti baik banget kan? Saya yakin, anak Ibu juga bakal beruntung. Karena surga kan di telapak kaki Ibu, jadi pasti seorang anak itu akan berbuat baik dengan surga yang akan ia tempati." Ujar Ilham,

"Walaupun kadang saya dengar banyak orangtua yang jahat, tapi anak itu kadang tetap menerima. sekesal, atau sebanyak apapun luka yang ia peroleh. Anak sama orangtua itu, hubungannya nggak akan putus. Sebaik-baiknya orang lain, itu tetap orang lain. Sejahat-jahatnya orangtua, tetap orangtua." Lanjutnya.

Kata-kata dari Ilham berhasil membuat hati Renatha mencelos perih, tak terasa air mata menetes langsung dari pelupuk matanya. Apakah Abbas akan mempunyai pikiran yang sama dengan pemuda ini? Semoga saja.

"Memangnya ada anak yang berpikir begitu? Kamu kan terlahir dari orangtua yang baik, Ilham. Jadi kamu tidak tahu bagaimana perasaan mereka yang mempunyai orangtua jahat." Sahut Renatha.

"Memang, Bu. Saya nggak tau rasanya, tapi agama saya memang sangat mengutamakan saling memaafkan dan merelakan apa yang telah terjadi." Ujarnya, "Pasti berat sih, Bu. Anak-anak yang ada di posisi itu. Tapi kalau iman ada di hatinya, nggak bakalan ada yang namanya dendam." Lanjutnya.

"Misalnya, seorang Ibu selalu memarahi anaknya. Dan ... atau mungkin tidak mau menganggap anaknya, kenapa anak itu lahir? Kenapa dia mau menahan rasa mual, sakit, selama sembilan bulan? Kenapa dia siap untuk melahirkan anak padahal itu mempertaruhkan nyawanya? Kenapa dia mau menyusui, dan bangun tengah malam, sampai mencuci kotoran-kotoran anaknya? Itu juga wujud dari kasih sayang, kan Bu? Sebesar apapun kesalahan seorang ibu, tetap kebenarannya dia adalah malaikat berwujud manusia." Jelas Ilham lagi.

Renatha tersenyum, kalau benar begitu adanya. Ia merasa jadi Ibu yang baik sekarang. Walaupun sedikit.

"Kepintarannya, tidak jauh dengan Abbas. Semoga, Abbas mempunyai pikiran yang sama ya, Nak. Maafkan mama."

***

Huumm, menuju ending yaa?
Bismillahh

Syahdu Mahabba Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang