Part 34 || SM

221 18 5
                                    

Seminggu berlalu...

Abbas masih setia dengan apa yang ia alami. Nafasnya berhembus dengan tenang, matanya terpejam lelap, nuansa ruangan berwarna putih terang seakan mendukung lelaki itu agar terus berdiam diri di tempat sana.

Allah Maha Besar, tanpa sadar Dia ingin menunjukkan... Bahwa yang bernafas, belum tentu bisa bergerak. Dan yang terpejam, belum tentu tidur. Serta yang tidak bangun dalam berhari-hari, belum tentu mati. Kurang Kuasa apalagi, Tuhan yang di puja-puja oleh Umat Muslim?

Setiap hari tanpa henti teman-teman Abbas baik dari kampus, atau luar. Selalu datang ke rumah sakit secara bergantian, dan berbeda-beda orangnya. Hingga dosen-dosen, ustadz-ustadz, turut datang untuk mendoakan lelaki itu agar segera membuka matanya dan bisa beraktivitas seperti biasa.

Abbas adalah kesayangan semua orang, tidak adanya dia, maka kebahagiaan orang-orang terasa kurang.

"Kapan, Abbas bangun?" lirihan itu terdengar dari suara Hana, yang di dengar oleh Hajar.

Hajar melirik ke Hana, ia sudah tau siapa Hana karena sudah di ceritakan oleh Fernan. Entah mengapa, ketika melihat Hana ... Hajar merasakan ada sebuah bara kecil di hatinya. Ya, ketika melihat Hana ... Hajar merasa tak suka. Tetapi Hajar selalu beristigfar untuk menghilangkan perasaan buruk itu.

"Hana ..." Hajar memegang bahu Hana lembut, dan membuat gadis berambut panjang itu menoleh kesamping.

"Iya, Kak?" tanya Hana sopan, karena ia merasa Hajar lebih tua darinya.

Hajar tersenyum lembut, Hana yang melihat itu terkagum. Senyum yang menenangkan dan begitu tulus. Seumur hidup, Hana tidak pernah ada seorang pun yang tersenyum padanya seperti ini. Tanpa sadar, senyum Hana ikut mengembang lebar membalas senyuman Hajar.

"Kenalin, aku Hajar. Temannya Abbas." Hajar mengulurkan tangan, Hana menunduk melihat tangan gadis berkerudung panjang ini. Lalu ia dengan pelan membalas uluran tangan itu, mereka bersalaman, "Aku Hana, kak."

Hajar tersenyum lalu melepas sopan pegangan tangan mereka, "Kamu udah lama ya kenal sama Abbas?"

"Baru seminggu kak," rautnya berubah sendu, "tepat sehari sebelum Abbas kecelakaan."

Hajar mengusap bahu Hana lembut, Hana tertegun merasakan kehangatan ini. Ia serasa ingin menangis, ia tak pernah sama sekali merasakan ini, dari siapapun.

"Kamu kenapa nggak pakai kerudung?" tanya Hajar lembut.

Hana terdiam sejenak lalu menjawab, "Aku non-muslim, kak."

"Terus kenapa kamu pakai gamis? Ini kan pakaian perempuan muslim."

Hana seketika merasa gugup. Apakah ia tidak boleh memakai pakaian seperti ini? Apakah ia terlalu kotor untuk memakai pakaian sesuci ini?

"Aku nyaman pakai ini, Kak. Aku ngerasa aman." Ucap Hana dengan apa yang ada di hati dan pikirannya, membuat Hajar tersenyum mendengar itu.

"Kamu mau aku buat lebih nyaman lagi?" pertanyaan Hajar membuat Hana tertegun, ia tidak terlalu mengerti apa yang di maksud oleh gadis cantik di depannya ini. Entah angin dari mana, kepala Hana mengangguk cepat, menyetujui apa yang Hajar tawarkan.

"Ikut aku ya." Hajar menarik lengan Hana lembut, menuju ke suatu tempat. Hana tidak tahu ia di bawa kemana, tapi ia menurut saja.

Mereka sampai di sebuah tempat, yaitu tempat wudhu khusus wanita yang di sediakan rumah sakit. Hana hanya melihat sekelilingnya, ia melihat banyak keran berjejer.

"Ini tempat buat orang mandi rame-rame?" itulah yang ada di dalam pikirannya.

"Kita ngapain, Kak?" pertanyaan Hana membuat Hajar yang tengah melepas jam tangannya menoleh, "Aku mau ajarin kamu sesuatu." Jawaban itu membuat Hana terdiam.

Syahdu Mahabba Where stories live. Discover now