"31"

936 79 12
                                    


Terlihat Dave yang membuang muka, seperti enggan menatap salah satu wajah putranya. Perasaan Atta terasa kacau. Dia merasa ada di posisi yang membuatnya terasa serba salah. Andai mampu ingin rasanya Atta berteriak tepat di depan wajah Dave. "Woyyyy darah gue udah terinfeksi virus HIV. Kalau gue tetep donorin itu darah sama aja nularin itu penyakit ke lo!" tapi nyatanya Atta sepengecut itu. Dia masih kekeh menyembunyikan penyakitnya dari banyak orang.

Bahkan Risa wanita yang biasanya sesekali membela dirinya kali ini hanya bungkam. Atta yang mulai muak dengan situasi yang terjadi perlahan mulai bangkit dari acara makannya. Baru satu suap dia mengisi perut dan sekarang selera makannya hilang entah kemana.

"Kalian semua kaya anak kecil tau nggak! Perkara sepele digede-gedein. Sorry kalau kehadiran gue ganggu acara makan kalian." setelah mengatakan hal itu Atta memilih untuk kembali kedalam kamarnya.

Atta membanting pintu kamarnya sendiri. "Dari awal tempat gue emang bukan disini." gumam Atta lirih. Perlahan diambilnya sebuah ransel berwarna hitam yang tergantung di balik pintu kamarnya. Setelah itu Atta menuju ke lemari bajunya. Tidak banyak yang dia bawa. Hanya seluruh buku pelajaran, seragam, botol obat serta beberapa helai pakaian. Tidak lupa ponsel dan dompet dia masukkan kedalam saku celananya.

Atta kembali turun. Dia sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat ini. Dari awal dirinya dirumah ini hanyalah numpang. Dia hanya orang asing, yang tiba-tiba masuk, dan berada ditengah-tengah Rafa dan keluarganya.

Saat Atta menuruni tangga, seluruh pandangan orang-orang diruang keluarga tertuju kepada bocah itu. "Mau kemana kamu Atta?" tanya Dave, saat menyadari Atta yang membawa barang-barang lebih banyak dari biasanya.

"Maaf jika keberadaan Atta ngerepotin kalian semua. Atta udah dewasa Pi. Dan mungkin ini waktunya Atta buat mandiri."

"Ta kamu....."

Ucapan Dave dipotong oleh Atta begitu aja. "Dulu Papi bawa Atta masuk kerumah ini karena usia Atta yang masih di bawah umur. Sekarang Atta udah 17 tahun Pi. Dan Atta mutusin buat keluar dari rumah ini."

Mendengar penjelasan yang keluar dari mulut saudara tirinya, Rafa menggelangkan kepalanya tidak percaya. "Tadi lo ngatain kita kaya bocah! Sekarang justru lo yang bocah Ta. Ada masalah selesaiin bukannya main kabur-kaburan kaya gini!" sinis Rafa, tidak lupa ditariknya kerah kemeja pemuda itu.

Atta melepaskan cengkraman tangan Rafa di lehernya. "Lepas!" Suruhnya sinis.

"Ini bukan hanya tentang permasalahan donor darah. Tapi dari awal tempat gue bukan di sini Raf. Nggak seharusnya bocah kaya gue masuk dan gabung diantara keluarga cemara yang kalian bangun!"

"Ta kamu ini ngomong apa?" sentak Dave mulai panik, lelaki itu merasa takut jika Atta benar-benar meninggalkan rumah ini.

"Atta ngomong fakta Pi. Dari awal Atta udah kewalahan ngatasin Inner child Atta. Dan dengan adanya Atta dirumah ini yang ada semakin susah buat damai dengan semuanya. Dan mungkin jalan satu-satunya ya Atta harus pergi dari tempat yang menurut Atta penyumbang luka dari semuanya."

Mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Atta, sontak Rafa, Risa dan Dave terdiam. Meraka sama-sama tidak tau harus memberi respon bagaimana.

"Tante Risa, Atta titip Papi ya. Atta percayain Papi ke Tante." ujarnya sambil menatap wajah yang saat ini tengah memperlihatkan ekspresi tidak relanya. Melihat sosok pemuda, yang sudah di anggapnya sebagai anak, berpamitan dan berniat pergi meninggalkan rumah ini.

"Kamu nggak mau fikirin baik-baik semua ini Ta? Maaf kalau luka yang kami goreskan sedalam itu dulu." Risa menatap wajah malang itu dengan tatapan penuh akan rasa bersalah.

Atarangi. {Selesai}Where stories live. Discover now