1. Ribut

101 23 104
                                    

💣 Warning!!!
Cerita mengandung kata-kata kasar, kekerasan, sensitif, dan adegan yang kurang pantas, serta sejenisnya. Harap bijak memilih bacaan.


Mei berdiri di ujung koridor sambil menatap malas ke arah parkiran sekolah. Mata datarnya tertuju pada satu titik garis lurus. Dalam diam dia sudah merapal doa supaya apa yang dia khawatirkan tidak terjadi. Sungguh, Mei sangat berharap hari ini semua bisa berjalan normal seperti seharusnya. Sayang, setelah menunggu sepuluh menit layaknya orang bodoh tidak juga ada perubahan.

Napas terhela berat dari celah bibir tipisnya. Mei memejam sesaat dengan tangan terkepal kuat. Dia bisa mendengar secara samar perdebatan yang ada, sehingga membuat Mei pergi ke tempat orang tuanya berada.

Dari jarak sepuluh meter suara melengking Ratna menggema tak tahu malu. Sukses aksi itu mengundang atensi di sekitar mereka. Sumpah rasanya Mei pengin menghilang saja sekarang.

"Kamu mau ngapain ke sini? Nggak perlu susah-susah datang, aku Mamanya bisa ngurus anak kok!"

"Aku Papanya, kenapa kamu protes? Dia juga anakku!" sembur pria berkemeja dongker itu.

"Huh, ana--"

"Cukup!" 

Mei menyela keras berusaha mengalahkan suara mama dan papa. Ini bukan sedang syuting film tapi rasanya hidup keluarga Mei penuh drama sekali.

Kontan Ratna dan Rudi menoleh bersamaan. Mama masih mencebik kesal karena kalimatnya terpotong begitu saja. Mama belum selesai mengeluarkan semua unek-unek dalam hati. Mama merasa jengkel dan sensi sendiri. Sementara papa, cuma berdeham kecil seraya membuang muka ke arah lain.

"Inget Ma, Pa, ini di sekolah bukan di hutan," sindir Mei sehalus mungkin berusaha menahan dongkol. "Kalo tau gini mending aku nggak usah minta kalian dateng!" lanjut Mei menyesal.

Mama menyahut cepat, tak terima. "Salahkan Papamu, Mama udah bilang biar Mama yang datang."

"Aku punya hak Ratna! Kamu pikir aku bakal setuju gitu aja, nggak akan."

Bukannya mereda perdebatan justru kembali tercipta di antara keduanya. Mereka mulai ribut seperti anak kecil yang susah dinasihati. Daripada Mei tambah pening, dia memilih balik badan lalu meninggalkan orang tuanya tanpa sepatah kata.

Terserah saja orang mereka mau adu mulut atau salto, Mei tidak peduli! Dia tidak mau gila sendiri.

"Tunggu Mama, Mei?"

Ratna langsung menyusul dan mengabaikan Rudi yang termenung sambil memandangi punggung keduanya yang semakin menjauh. Pria itu mengalah untuk tetap di tempat demi tak memperburuk suasana. Rudi tahu kini istrinya sangat kurang ajar sudah berani melawan dan membentak dirinya di depan umum.

Lihat saja di rumah nanti. Rudi membatin penuh amarah sambil mengendurkan dasi di leher yang terasa mencekik.

Sementara itu, Mei terus berjalan cepat menuju kelasnya yang terasa sangat jauh. Mei ingin bersembunyi di lubang tikus atau di mana pun supaya tidak dilihat teman-temannya yang sudah berkerumun sejak tadi. Hari terakhir sekolah seharusnya berkesan baik malah harus tercoreng karena kelakuan orang tuanya yang kekanakan. Selalu bertengkar tanpa tahu situasi.

Memalukan.

Setelah menunggu giliran lalu bertemu wali kelas secara tatap muka perlahan wajah Mei merekah gembira ketika mendapatkan rapor sekolah. Di dalamnya tertulis jelas deretan nilai dengan angka-angka besar di tiap mata pelajaran, rata-rata nilai di atas delapan puluh lima. Mei puas dan bangga pada prestasinya yang gemilang, bisa dibilang bagus karena berhasil masuk lima besar. Ya, dia sudah bersyukur menduduki posisi bagus di tahun awal sekolahnya itu. Menjadi juara tiga tidaklah buruk. Dia patut berbangga diri kenyataan melebihi ekspektasi.

"Selamat Mei dapet nilai memuaskan, jadi juara pula, Mama ikut seneng dan bangga sama kamu," puji Ratna setelah melihat ulang rapor di tangannya usai keluar kelas. Mama tersenyum manis. Matanya berbinar-binar memandangi rapor tersebut. Ratna tidak menyangka punya anak sepintar itu.

"Makasih, Ma."

Dalam hati Mei ikut senang bisa melihat mama tersenyum begitu. Soalnya akhir-akhir ini senyum mama menghilang. Apalagi kalau sudah ketemu papa, kegiatannya cuma ribut saja.

Tepat ketika sampai di tempat parkir papa tiba-tiba muncul dari balik mobil seraya memanggil. Seketika raut wajah mama berganti suram. Sekilas mama menoleh lalu melengos. Desahan kasar lolos dari bibirnya yang mencebik sebal. Ekspresi mama kentara tak suka kala papa berdiri di antara dirinya dan sang anak.

"Kamu belum pulang?" ceplos Ratna tanpa tendeng aling-aling.

"Belum. Kan, nunggu anakku selesai ambil rapor." Papa membalas tak kalah sinis tanpa menatap mama lalu beralih mendekati sang anak.

Melihat ketidakakuran kedua orangtuanya membuat Mei tidak nyaman. Dia merotasi bola mata secara cepat. Menurutnya, mama dan papan itu sangat tidak bisa  untuk menyembunyikan mimik tak bersahabat satu sama lain. Mei hanya bisa mendesah lagi dan lagi. Padahal jauh dalam lubuk hati dia ingin keduanya akur seperti dulu.

"Gimana hasilnya Mei, kamu naik kelas, kan?"

"Iya, Pa. Lihat aja nih." Mei mengangsurkan rapor di tangan kemudian Rudi terima dengan antusias.

"Wah, anak Papa keren dapet juara ternyata!"

Menganggukkan kepalanya Mei terus memandangi Ratna dan Rudi bergantian. Jelas mama dan papa terkesan menjaga jarak, tidak ada kehangatan dari mereka yang berdiri saling memunggungi.

"Kalo gitu, buat hadiah kenaikan kelas Mei mau minta apa atau mau beli sesuatu?" usul papa yang terdengar asing sampai mama tak bisa untuk tidak menyela, "Tumben. Udah sadar sekarang?"

Papa cuma melirik tak ambil pusing, mengabaikan celoteh sarkas istrinya yang menyunggingkan bibir. Sedangkan Mei ikut memikirkan hal serupa. Dia juga heran papa paduli padanya secara tiba-tiba begini. Sebab biasanya terkesan acuh.

Tanpa pikir panjang Mei bertanya, "Beneran boleh, Pa?"

"Iya, dong. Apa aja yang Mei mau Papa kabulin."

"Apa pun?"

"Iya."

Mei berpikir sebentar sebelum memutuskan pilihan. Ada banyak hal yang ingin dia minta tapi Mei sudah memiliki satu harapan di masa liburan nanti.

"Kalo gitu Mei pengin kita makan di luar bareng malam ini, Mama, Papa sama Mei. Udah lama kita nggak makan di luar, 'kan?" katanya mantab setelah berpikir matang-matang.

Kontan mama melebarkan mata, sedangkan papa meneguk ludah kasar. Papa diam sebentar kemudian mengangguk setuju.

"Mama setuju juga, kan?"

Kini Mei menatap Ratna yang tak kunjung bersuara. Mei tahu pasti tidak mudah bagi mama untuk sepakat setelah apa yang dilewati mama selama ini. Tapi Mei hanya berharap hubungan mama dan papanya bisa membaik dengan acara makan sederhana yang dia minta.

"Iya, Mama mau Mei."

Mei bernapas lega. Jari telunjuknya terangkat di udara dan Mei melanjutkan ucapannya, "Ada satu lagi permintaan Mei buat ngisi liburan semester ini, Ma, Pa."

"Apa?" tanya mama papa serempak dibuat penasaran.

"Mei pengin kita besok liburan ke Bandung, ke rumah nenek. Gimana, Ma, Pa?"

"Kalo itu bakal sulit, Papa banyak kerjaan ter--"

"Banyak alasan Papamu, Mei. Apa susahnya ambil izin sebentar," hardik mama. "Itu anak kamu yang minta masih aja  cari-cari alasan."

"Dengerin dulu. Kamu selalu nuduh suami yang bukan-bukan. Aku kerja bukan main."

"Iya. Di depan ngomong gini, lain kalo di belakang."

Di tempatnya berdiri Mei termenung. Matanya bergerak ke kanan dan kiri bergantian mengikuti gerakan mama papanya yang kembali debat. Sepertinya keputusan Mei untuk mendamaikan orang tuanya tak semudah membalik telapak tangan. Mei tidak bisa membayangkan bagaimana akhirnya nanti saat liburan sekolah berminggu-minggu harus di isi dengan keributan orang tua karena harus mendekam di rumah.

"Oke, kalo Mama sama Papa nggak setuju biar Mei aja yang pergi sendiri!"

Baru part 1 aja gimana nih komentarnya?

Jangan lupa votmen ya biar aku makin semangat 🍉

Mei bulan JuliWhere stories live. Discover now