17. Percakapan Tengah Malam

395 47 9
                                    

Tidur katanya. Tapi lihat apa yang sedang (Name) lakukan sekarang.

Sejak terakhir kali (Name) pamit pada Suna, hingga sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, (Name) masih terjaga, duduk di balkon dengan batangan nikotin yang sudah habis setengah bungkus, ia hanya pandangi dengan nanar pagar tinggi yang mengelilingi mansion. Alasannya hanya satu. (Name) ingin memastikan sendiri ucapan Yukie beberapa waktu yang lalu.

Namun yang (Name) dapat hanyalah sebuah kekosongan. Jalanan yang sepi dan gelap, serta keheningan malam yang setiap harinya akan seperti itu. (Name) tidak melihat Bokuto dimanapun.

"Ya Tuhan," (Name) padamkan batang rokok kesembilannya. Frustasi ia remas rambutnya. Beberapa kali (Name) selalu berpikir untuk kabur dan kembali pada Ushijima. Namun sepertinya percuma saja. Mansion ini dikelilingi kamera tersembunyi, jebakan dimana-mana, bahkan beberapa anjing pengawas yang siap membuat (Name) menjadi orang bodoh ketika tertangkap basah ingin menyelinap keluar.

Rintik salju yang turun tak membuat (Name) enyah dari tempat tersebut. Tubuhnya hanya dibalut tipisnya kemeja tidur yang Suna berikan padanya. Kaki jenjangnya telanjang, telan bulat-bulat dinginnya ubin yang menusuk hingga ke tulang. (Name) bertahan selama itu, dengan cuaca yang tidak bersahabat untuk tubuh. Namun untung saja hal itu tak berlangsung hingga pagi. Karena sebuah ketukan yang berasal dari pintu kamarnya berhasil membuat (Name) angkat kaki. Setelah menutup pintu balkon dan menarik tirai, (Name) lantas membuka pintu kamarnya.

"Hai."

"Oikawa? It's already midnight, what are you doing?"

Oikawa Tooru, mengangkat sebelah alisnya dan berucap, "Kau sendiri belum tidur? Lagi ngapain?" lelaki itu melangkah masuk membuat (Name) refleks mundur. Setelah menutup pintu, Oikawa menarik (Name) untuk duduk di sofa.

"Hanya tidak bisa tidur." sahut (Name) menjawab pertanyaan Oikawa barusan.

"Aku pikir kau tidur dengan Suna."

"Ng, tidak. Kenapa?"

"Nope. Hanya ingin midnight talk with you. Is that okay?"

(Name) menganggukkan kepala. Ia membenarkan posisi duduknya, berhadapan dengan Oikawa yang parasnya terlihat tak begitu jelas sebab satu-satunya penerangan yang masih menyala hanya lampu tidur.

"Aku ingin membicarakan Yukie. Kau pasti tidak tau, kenapa dia bersikap demikian saat melihatmu."

Belum memberikan respon apapun, (Name) menunggu Oikawa melanjutkan ucapannya.

"Jika ditanya itu salahmu atau bukan, sejujurnya bukan sama sekali (Name). Yukie seperti itu, hanya karena masa lalu yang masih belum bisa hilang dari ingatannya." Oikawa menahan sejenak ucapannya. Lelaki itu lamat-lamat perhatikan (Name) yang hanya menatapnya dengan kosong.

"Jangan sampai ini membuatmu terserang panik lagi, okay? Aku akan membantumu mengingat semuanya, dengan perlahan." katanya.

"Yukie, seperti itu bukan tanpa maksud, (Name). Dulu, kalian itu bukan sekedar dekat saja. Kalian berdua itu, dulu sudah seperti teman sehidup semati. Makanya, melihat Yukie seperti tadi, kami semua terkejut. Yukie tidak pernah se sensitif itu."

"Yukie suka Suna ya?" pertanyaan (Name) sontak mengundang kekehan Oikawa.

"Of course not! Mereka itu, teman masa kecil."

"Sikapnya, kelihatan sekali."

"Tidak. Yukie tidak pernah suka pada Suna. Satu-satunya alasan yang membuat Yukie seperti itu, hanya masa lalu mu. Saat tragedi itu, tewasnya Tanaka, dan kau yang pergi ke Shiratorizawa." Oikawa meremas perlahan tangan (Name). Mendengar deru nafas perempuan itu yang sudah mulai tidak teratur, Oikawa tau panik mulai menyerang (Name).

"(Name), stay with me, okay. Aku tau kau bisa melawannya."

(Name) mulai mengatur nafasnya, perlahan dan pasti seraya eratkan genggamannya pada Oikawa.

"Yukie mencintaimu, (Name). Dia hanya perlu waktu, dan waktu itu adalah kau. Aku yakin, suatu saat kau dan Yukie akan menjadi seperti dulu lagi."

Ucapan Oikawa diakhiri dengan memeluk (Name). Ia usap punggung (Name) yang bergetar, dan kini embusan nafas (Name) mulai teratur. Tak langsung melepaskannya, Oikawa justru menampung semua tangisan (Name) di malam itu.

Selang beberapa waktu, Oikawa menyudahinya. Perlahan tangan kekarnya usap kedua pipi (Name) guna menghapus jejak-jejak air mata. Begitu (Name) mulai tenang, Oikawa lantas berpamitan dan keluar dari kamar tersebut.

"Malam-malam Oikawa mau apa ke kamar kamu?" tepat ketika (Name) hendak menutup pintu, Suna muncul dari kamarnya. (Name) baru ingat, kamar Suna dengan kamarnya berdampingan.

Lelaki itu mengampirinya setelah menutup pintu, dan sekarang gantian Suna yang menjadi tamu (Name).

"Hanya mengobrol. Belum tidur?" (Name) menutup pintu kamarnya dan duduk di ranjang setelah menyalakan lampu utama.

"Dengan keadaan gelap seperti tadi?" lelaki itu menginterogasi. (Name) anggukkan kepalanya, karena memang kenyataannya begitu.

"Itu tidak menjawab pertanyaanku,"

"(Name),"

"Astaga. Aku dan Oikawa hanya mengobrol, tentang masa lalu ku,"

Suna yang semula duduk di sofa buru-buru mendekati (Name). Kedua tangannya menangkup pipi (Name), perhatikan sekujur wajah perempuan itu dengan teliti.

"Are you okay?" teringat serangan panik yang membuat (Name) tak sadarkan diri kala itu, wajar jika Suna khawatir. "Mata kamu sembab begini,"

"Aku tidak apa-apa." potong (Name) seraya mengusap lengan Suna. Perempuan itu berikan senyuman, meski Suna tetap dalam mode khawatirnya.

"Hanya menangis sebentar tadi, haha. Hampir serangan panik, tapi Oikawa menenangkan ku." sambung (Name).

"Benar Oikawa tidak macam-macam? Aku akan menonjoknya,"

"I'm okay, Rin."

Mematung. Suna perlahan merasakan hangat menjalar ke seluruh wajahnya.

"Apa? Panggil bagaimana tadi?"

(Name) terkekeh kecil. "Rin?"

"Lagi."

"Rin,"

"Lagi, panggil terus."

"Rin Rin Rin Rin hmph-"

(Name) terdorong hingga berbaring. Seraya kekehannya semakin kencang, (Name) beberapa kali menepuk bahu Suna yang tiba-tiba melahap bibirnya. Tak lebih dari satu menit, Suna mengambil jarak dari (Name) beberapa senti. Kedua mata rubahnya beradu tatap dengan mata (Name). Jemarinya mengusap lembut permukaan pipi (Name) dan berbisik,

"How cute. Keep calling me Rin, okay Babygirl?"

"Shut up," Suna terkekeh geli saat (Name) terang- terangan merona dan menutupi wajahnya menggunakan tangannya.

Suna lantas singkirkan tangan itu, dan amati wajah (Name) yang masih dipenuhi semburat kemerahan. "Hei look at me," mata mereka kembali saling menatap. Dalam, dan penuh arti.

Degup jantung keduanya terdengar tak terkontrol. Posisi seintim ini, siapapun pasti akan berdebar. Pun dengan Suna dan (Name).

Suna, begitu rindu pada sosok perempuan yang berada di bawah kukungannya saat ini. Ia rindu membelai rambutnya, wajahnya, semuanya. Suna merindukan segala hal tentang (Name). Maka kini Suna tumpahkan semua rasa rindunya. Dibelainya rambut (Name), pipinya, turun hingga lehernya. Senyum tanpa sadar terukir di bibir Suna. Tak henti dalam hatinya, Suna memuja bagaimana mengagumkannya sosok (Name). Sekali lagi jemarinya belai perlahan permukaan pipi (Name). Ia juga kembali mendekatkan wajahnya lantas berbisik,

"I love you, (Name)."

◖⁠⚆⁠ᴥ⁠⚆⁠◗

Miracle in December Where stories live. Discover now